SUARAINDONEWS.COM, Bandung-Kebijakan Pemerintah terkait pembebasan narapidana ditengah merebaknya ‘Wabah Virus Covid19’ memunculkan polemik berkepanjangan karena banyaknya statement dari yang tidak berkompeten dibidangnya. Bahkan tidak melihat permasalahan lapas secara komprehensif, selain patut diduga keras dilatar belakangi motiv politik untuk menyerang kebijakan Pemerintah tersebut, demikian dikemukakan Erwin Saripudin, Pemerhati Kebijakan Publik di Bandung, saat ditemui (10/4).
Bahkan Komisi Tinggi PBB, sub-komite PBB Anti Penyiksaan, pun telah mengimbau kepada negara-negara yang sistem lapasnya masih tradisional dan over kapasitas agar membebaskan sebagian napinya ‘Demi Kemanusiaan’.
Oleh karenanya, Erwin Saridin lebih lanjut menambahkan bahwa sepatutnya persoalan terkait pembebasan narapidana ditengah merebaknya ‘Wabah Virus Covid19’ dapat dikaji dari data serta fakta kondisi Penjara/ Lapas/ Rutan di Indonesia saat ini.
Seperti diketahui, jumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) di seluruh Indonesia ada 522 Lapas dengan penghuninya hampir 260 ribu orang dan jumlahnya meningkat setiap saat. Ada yang sampai 200 % dari kapasitas Lapas karena banyaknya perkara Narkoba (yakni 60 % dari total penghuni Lapas, red), sehingga untuk tidur berdesakan seperti tatanan ikan pindang bahkan terkadang bergantian tidurnya dengan napi lain.
Sedangkan untuk narapidana Tindak Pidana Korupsi yang berusia 60 tahun ke atas, dan yang telah menjalani pidana 2/3 masa pidana, ada sebanyak 300 orang. Sementara jumlah total napi perkara Korupsi mencapai 1,8 % dari total penghuni Lapas.
Selanjutnya, napi kasus Narkotika masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya sekitar 15.482 orang. Dan Bandar Narkoba yang umumnya dihukum di atas 10 tahun tidak menerima pembebasan. Sedangkan napi kasus Korupsi yang berumur di atas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan berdasar pertimbangan imun tubuh lemah, yang dibebaskan.
Kemudian untuk menangani napi sejumlah +/- 260 ribu orang tersebut, ada 35 ribu orang tenaga kerja, dengan anggaran Rp.1,8 trilyun (untuk makan napi, tenaga pengaman, tenaga medis, rohaniawan, konseling/bimbingan pemasyarakatan , sarana dan prasarana dan lain sebagainya, red).
Fakta lainnya bahwa tujuan umum pemidanaan, agar pelaku tindak pidana menyesali perbuatannya sehingga nantinya dapat menjadi berkelakuan baik, tidak tercapai. Karena di Lapas pelaku kejahatan justeru kerap mendapatkan training gratis tentang kejahatan dari seniornya. Ibarat yang pada awalnya masuk hanya maling motor keluar penjara justeru menjadi rampok, atau yang pada awalnya masuk hanya pemakai narkoba, keluar malah menjadi bandar narkoba.
Kondisi penjara di Indonesia tersebut diatas, tidak bisa kita bebankan dan merupakan tanggungjawab Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham saja, karena Lapas adalah tempat “pembuangan akhir” pelaku kejahatan. Garda terdepan penegakan hukum yang menjadi supplier penghuni Lapas adalah Kepolisian, lalu Kejaksaan dan terakhir Hakim di Pengadilan.
Sebab ditangan Hakimlah apakah pelaku pidana mau dibebaskan, dihukum berapa lama, ditentukan jenis hukumannya dan apabila telah diputus oleh hakim, maka semua pelaku tindak pidana (Pencurian, Narkoba, Zina, Korupsi, Teroris, Pembunuhan, dan lain lain) yang telah masuk penjara menjalani hukumannya harus diperlakukan sama, ‘Tidak Boleh Ada Diskriminasi’.
Dahulu pemidanaan pelaku pidana, diibaratkan sebagai ‘ajang balas dendam’ sehingga sering terjadi penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang kepada narapidana. Namun sekarang seiring dengan perubahan zaman, Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat perubahan perilaku hingga dapat di terima masyarakat.
“Jadi bukan lamanya masa pidana. Karena lamanya seseorang dalam penjara juga tidak menjamin narapidana menjadi lebih baik selepas keluar dari penjara. Seperti misalnya pengguna narkoba dimana yang seharusnya bisa diupayakan agar direhabilitasi, bukan dipidana. Agar tidak semakin bertambah jumlahnya, menjadikan penjara penuh sesak, bahkan keluar malah jadi bandar,” papar Erwin Saripudin.
Untuk itu, kini mulai diterapkan model hukuman restoratif karena terbukti sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah Penjeraan, bukan pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).
Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik yakni Pemidanaan Restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya.
Dengan kata lain, Restorative Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya.
Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya. Harus diakui penerapannya tidak gampang. Kalau hanya diterapkan di lingkungan Lapas, hasilnya tidak akan maksimal. Model restoratif harus dimulai dari Kepolisian, saat pertama kali perkara disidik. Di Kejaksaan dan Pengadilan pun demikian.
Sehingga untuk merealisasikan gagasan besar tersebut, maka kita harus merombak KUHP, KUHAP dan UU Pemasyarakatan dan hal itu telah mulai dilakukan Pemerintah bersama DPR, ungkap Erwin. Namun saja banyak pihak yang menentang tanpa mempertimbangkan data dan fakta-fakta tersebut diatas serta UU yang berlaku saat ini.
Sebagai bahan perbandingan, yakni penjara John Morony Correctional Complex, yang berada The Northern Road, Berkshire Park New South Wales Australia. Penjara sangat modern yang memadukan antara penjara dan bisnis. Penjara ini menempati lahan seluas 150 hektar. Separuh untuk kamar tahanan dan separuhnya adalah pabrik.
Pekerja pabrik tersebut semuanya adalah napi dipenjara tersebut. Kamar tahanan napi sangat bersih dan rapi bahkan tergolong mewah. Karena dilengkapi dengan berapa mesin cuci otomatis dan seterika, ruang konseling, ruang ibadah, ruang belajar dan lain lain. Omzet pabrik ini mencapai ratusan milyar dollar dan napi tersebut juga menerima gaji dan negarapun tidak mengeluarkan anggaran untuk menghidupi napi.
Konsep penjara di Australia ini sebetulnya dapat dengan mudah kita tiru di Indonesia, Pemerintah/Kemenkumham dapat bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar yang memungkinkan karyawannya berada dalam satu komplek. Dalam komplek tersebut, disediakan beberapa kamar untuk napi yang diperkerjakan diperusahaan tersebut, dan area tersebut tetap dijaga polisi atau sipir penjara. Setiap hari selesai bekerja, para napi tidak perlu kembali ke ruang penjara di Lapas, cukup kembali ke penjara khusus di komplek pabrik tersebut.
Dengan demikian, para napi tetap dalam penjara, keamanan terjamin, mempunyai kesibukan dan keterampilan, tetap mendapat penghasilan berupa upah untuk menghidupi keluarganya di rumah, dan negara tidak perlu mengeluarkan anggaran dana untuk menghidupi napi. Namun justeru malah mendapatkan pendapatan dari usaha bersama napi tersebut.
(tjo; foto ist