SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, menegaskan penolakannya terhadap pasal terkait Power Wheeling (PW) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Mulyanto menyatakan, mekanisme Power Wheeling, yang memungkinkan pembangkit listrik swasta menjual listrik langsung kepada konsumen melalui jaringan transmisi dan distribusi milik PLN, akan membebani keuangan negara dan merusak monopoli kelistrikan yang diamanatkan oleh konstitusi.
“Power Wheeling harus dicabut, karena akan membebani keuangan negara. Dengan mekanisme ini, pembangkit listrik swasta dapat menjual listrik langsung kepada konsumen, sehingga monopoli listrik oleh negara melalui PLN akan hilang. Padahal, sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara,” ujar Mulyanto dalam diskusi legislasi bertajuk “Urgensi RUU Energi Baru Terbarukan untuk Mempercepat Transisi Energi”, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (10/9/2024).
Potensi Beban APBN dan Kehilangan Pendapatan PLN
Mulyanto menambahkan, selain menyalahi konstitusi, penerapan skema Power Wheeling akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, PLN, yang selama ini memonopoli distribusi listrik, akan kehilangan pendapatan signifikan karena swasta dapat menjual listrik secara langsung ke konsumen, termasuk pelanggan industri yang menjadi penyumbang terbesar pendapatan PLN. “Ini adalah bentuk liberalisasi sektor kelistrikan yang akan merugikan negara. Harga listrik nantinya akan mengikuti mekanisme pasar, yang jelas bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.
Fahmy Radhi: Power Wheeling Berpotensi Kurangi Anggaran Strategis Pemerintah
Sejalan dengan Mulyanto, Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menyarankan agar pasal terkait Power Wheeling dalam RUU EBET dihapus. Fahmy menjelaskan bahwa skema ini tidak hanya menggerus pendapatan PLN, tetapi juga menambah beban operasional PLN, khususnya dalam hal penyediaan cadangan energi dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga bayu (PLTB) yang sifatnya intermittent.
“Meningkatnya biaya operasional PLN akibat skema ini akan memperbesar Harga Pokok Penyediaan (HPP) listrik. Jika tarif listrik di bawah HPP, negara harus menggunakan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, yang tentu akan mengurangi anggaran strategis pemerintah, termasuk program makan bergizi gratis yang direncanakan presiden terpilih, Prabowo Subianto,” jelas Fahmy.
Ia menambahkan bahwa selain membebani APBN, skema ini juga melanggar sejumlah regulasi yang mengatur sektor kelistrikan, termasuk UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 111/PUU-XIII/2015, yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi penting harus dikuasai oleh negara.
PKS Tegas Tolak Power Wheeling
Fraksi PKS melalui Mulyanto telah secara tegas menolak pasal Power Wheeling dalam RUU EBET di berbagai forum rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Menurutnya, mekanisme ini membuka jalan bagi liberalisasi sektor listrik yang akan menjadikan PLN sebagai salah satu dari banyak pemain (multi-player), menghilangkan monopoli oleh negara.
“Ini jelas liberalisasi sektor kelistrikan. Dengan adanya Power Wheeling, PLN akan bersaing dengan swasta, yang mengubah mekanisme monopoli negara menjadi pasar terbuka. Ini adalah hal yang kami tolak karena bertentangan dengan konstitusi,” pungkas Mulyanto.
(Anton)