SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Perubahan besar sedang dibahas untuk dunia pendidikan Indonesia. Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menjadi sorotan utama DPR, DPD, dan Kemendikbudristek yang sepakat bahwa regulasi pendidikan harus diperbarui agar lebih relevan dan menjawab berbagai tantangan zaman.
Sabam Sinaga, anggota Komisi X DPR RI dari Partai Demokrat, buka suara tentang urgensi revisi ini. Ia mengaku prihatin dengan banyaknya masalah di lapangan, mulai dari bullying, intimidasi terhadap guru, hingga ketimpangan kualitas pendidikan di wilayah terpencil. “UU Sisdiknas sudah cukup lama berlaku dan perlu penyesuaian dengan perkembangan zaman serta tantangan nyata di lapangan,” katanya.
Masalah anggaran pendidikan pun jadi sorotan Sabam. Putusan Mahkamah Konstitusi soal sekolah swasta yang harus gratis menurutnya adalah kesempatan emas untuk memperbaiki sistem pembiayaan pendidikan. Selama ini, alokasi 20% anggaran pendidikan dari APBN belum merata dan bahkan terlihat tidak adil. Dalam penelitiannya, Sabam menemukan bahwa biaya pendidikan tinggi di luar kementerian teknis bisa mencapai 13-14 kali lipat dibanding PTN atau PTS biasa. “Apakah perlu ada duplikasi program pendidikan di kementerian lain seperti Poltekkes Kemenkes yang hampir di setiap provinsi? Ini harus dikaji serius,” tegasnya.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, menyambut baik rencana revisi ini. Ia menilai UU Sisdiknas yang sudah lebih dari 22 tahun perlu diselaraskan kembali agar mengakomodasi kemajuan teknologi dan kebutuhan masa kini, termasuk pendidikan berbasis coding dan artificial intelligence. Atip juga menyoroti ketidakadilan dalam sertifikasi guru.
“Tidak bisa disamakan antara lulusan pendidikan dan non-kependidikan, seperti tidak mungkin sarjana ilmu politik ikut praktik kedokteran,” ujarnya dengan tegas.
Atip menegaskan, perubahan kurikulum harus mendapat ruang fleksibilitas agar pendidikan tetap dinamis dan tidak kaku. Lebih jauh, putusan MK soal pendidikan dasar yang harus bebas pungutan dianggap sebagai momentum untuk mengoreksi arah politik anggaran pendidikan nasional yang saat ini masih kurang fokus pada wajib belajar SD dan SMP.
Di sisi lain, Anggota Komite III DPD, Lia Istifhama, menyoroti sisi inklusif pendidikan yang belum merata. Ia mengungkap fakta bahwa pembukaan kelas inklusif di beberapa daerah masih bergantung pada pelaporan penyandang disabilitas yang belum tentu akurat. Lia juga mengingatkan perlunya regulasi yang mengurangi beban administratif guru sehingga mereka bisa fokus mengajar dan menjaga kondisi psikologis siswa. “Banyak guru merasa kehilangan hak tunjangan profesi karena beban pelaporan yang sangat membebani saat pandemi,” ujarnya.
Lia juga mendorong adanya perlindungan hukum yang kuat bagi guru agar tidak menjadi korban pelaporan berlebihan, sekaligus menjaga keseimbangan agar kekerasan di sekolah bisa dicegah. Ia menambahkan bahwa lembaga yang menerima siswa magang wajib mendapat pengawasan ketat dan diberi sanksi jika terjadi pelanggaran seperti pelecehan. Terakhir, Lia mengingatkan perlunya payung hukum yang jelas terkait Pendidikan Profesi Guru (PPG), terutama di lingkungan Kemenag, supaya tidak terjadi ketidakadilan yang merugikan.
Ketiga pihak ini—DPR, DPD, dan Kemendikbudristek—saling bersinergi membuka ruang dialog terbuka dan partisipatif. Mereka berkomitmen bahwa revisi UU Sisdiknas harus bisa menjawab harapan bersama: pendidikan berkualitas, adil, inklusif, dan mampu mencetak generasi emas Indonesia yang siap menghadapi tantangan global.
(Anton)