SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Praktisi hukum Johnson Panjaitan mengaku miris dengan stigmatisasi di masyarakat yaitu apabila sikap dan pandangannya tidak mendukung kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka dicap sebagai pembela koruptor. Keluhan itu disampaikan Johson karena dia merasakan sendiri perubahan pandangan di masyarakat terhadap dirinya setelah akhir-akhir ini sikapnya kerap berseberangan dengan lembaga anti korupsi tersebut.
“Bayangin dari orang yang dulu dicap sebagai pembela hak asasi, sekarang dicap sebagai orang yang menjadi pembela koruptor. Tapi saya tidak ambil pusing, jalan terus,” kata Jonson dalam diskusi ‘Pansus KPK dan Pemberantasan Korupsi’ di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (2/8/2017).
Mantan aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini mengatakan sebenarnya pada awalnya didirikannya KPK, dirinya bersama aktivis lain sangat mendukung dan berharap banyak dengan KPK yang memiliki kewenangan besar karena didesain sebagai lembaga yang menangani korupsi yang masuk dalam perkara extra ordinary (kejahatan luar biasa). Namun, dalam perjalanannya dia berpandangan KPK telah banyak menyimpang dari jalurnya.
Dia mengambil contoh saat menjadi pengacara rekan sejawatnya, OC Kaligis yang ditangkap penyidik KPK atas kasus suap, dirinya menyaksikan pelanggaran hukum yang dilakukan dengan mengatasnamakan penegakan hukum.
“Ketika putri Pak Kaligis mau bertemu bapaknya untuk silaturrahmi dalam rangka lebaran, tidak diizinkan, karena adanya ruang isolasi. Apa itu tidak melanggar hak asasi,” kata praktisi hukum yang dikenal dalam perjuangan hak asasi manusia itu.
Johnson mengatakan sudah saatnya semua pemangku kepentingan mengevaluasi keberadaan dan kinerja KPK, sebab seringkali proses penegakan hukum oleh KPK dilakukan dengan cara melanggar hukum. Hal itu sering dilakukan KPK, karena merasa lembaga tersebut memiliki kewenangan superbodi yang tidak bisa disentuh oleh lembaga manapun.
Di sisi lain, dua lembaga penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan, seolah makin terdegradasi di mata masyarakat. “Padahal kepolisian dan kejaksaan itu lembaga penegakan hukum yang konstitusional, jangan juga terus direndahkan. Tetapi, yang dalam kerjanya KPK juga sering melanggar hukum selalu mendapat pembenaran. Saya setuju agar bagaimana kewenagan yang superbodi itu bisa kita kontrol,” kata Johnson.
KPK 15 Tahun Anti Kritk
Anggota Pansus Angket KPK DPR RI Masinton Pasaribu mengakui perjalanan KPK yang sudah berusia 15 tahun (2002 – 2017), perlu dievaluasi kinerjanya. Sebab, dengan merasa memiliki kewenangan yang superbodi, KPK telah berubah menjadi lembaga yang anti kritik, merasa paling benar, bahkan melakukan penyimpangan kewenangan dan bertindak sewenang-wenang karena merasa tidak ada pihak yang berani mengawasi dan menyentuhnya.
“Jadi, fase membela KPK sudah cukup, dan kini saatnya mengkritisi. Termasuk melalui pansus angket KPK,” kata politisi dari PDI Perjuangan ini.`
Pansus menilai kinerja KPK sudah mulai tidak sesuai dengan tujuan didirikannya KPK sebagai lembaga penegakan hukum yang dikhususkan untuk memberantas korupsi dengan diber kewenangan yang besar atau superbodi.
Misalnya, menjadikan terpidana Muhammad Nazaruddin sebagai sumber awal bukti penyelidikan sehingga perkara apa saja yang diinginkan KPK bisa diomongkan dan dikembangkan melalui ocehan dari Nazarudin terlebih dahulu.
Contoh kasus, menurut anggota Komisi III DPR ini adalah penanganan korupsi e-KTP oleh KPK, dimana diketahui ternyata Nazaruddin tidak terlibat sama sekali dalam proyek itu. Namun, ocehan Nazaruddin kemudian dijadikan bahan bagi KPK dalam melakukan penyelidikan.