SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan yang lebih masif, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan supaya penggunaan non-plastik bisa dipergunakan lebih luas.
Bersama dengan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat mengunjungi PT Inter Aneka Lestari Kimia dan PT Harapan Interaksi Swadaya di Tangerang, Banten, Senin (8/5), Menko Luhut mengatakan,” Berkaitan dengan masalah pengendalian dampak lingkungan, kami meminta agar penggunaan bahan non plastik diperluas, mengingat selama ini kebanyakan plastik digunakan sebagai kemasan, dan hanya sedikit yang dipergunakan sebaagai tas belanja.
Luhut menambahkan, “Indonesia bekerja keras memerangi sampah plastik. Sebagian besar sumber sampah plastik berasal dari botol PET, kemasan flexible, dan kantong belanja plastik. Hingga akhir tahun 2016 lalu, Indonesia tercatat sebagai kontributor sampah plastik di laut urutan kedua terbesar di dunia,” imbuhnya.
Ia mengapresiasi perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk ramah lingkungan, apalagi yang sudah mampu meningkatkan penggunaan konten lokal. “Produk ini konten lokalnya sudah mencapai 50 persen. Kami yakini apabila volume produksinya diperbesar lagi, harganya bisa turun,” ujarnya seraya mengatakan tidak semua plastik bisa tergantikan oleh produk non plastik.
Mengapa demikian, karena ada keterbatasan sifat produk yang menggunakan teknologi biodegradable plastik, ternyata belum dapat digunakan untuk semua jenis bahan cair. Misalnya untuk penggunaan minyak masih tahan, tetapi untuk yang sifatnya panas, produk tersebut akan mencair (lumer),” tegas Luhut.
Dorong Pertumbuhan Industri Ramah Lingkungan
Sementara itu Kementerian Perindustrian mendorong pertumbuhan industri berkelanjutan dan ramah lingkungan, dengan meminta produsen biodegradable plastic atau plastik yang mudah terurai secara alami, meningkatkan produksinya. Upaya ini diharapkan dapat memberi kontribusi signifikan bagi pelestarian lingkungan hidup.
“Kami mendukung pabrik ini agar terus berekspansi dan mengembangkan teknologinya. Bahkan potensi investasinya masih cukup besar,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam kesempatan yang sama.
Menperin memacu peningkatan produksi biodegradable plastic hingga lima persen dari jumlah kapasitas nasional saat ini, 200 ribu ton per tahun untuk menggantikan plastik konvensional yang tidak ramah lingkungan. “Sementara itu konsumsi plastik di Indonesia mencapai lima juta ton per tahun, dan baru 50 persen yang bisa dipenuhi dari industri dalam negeri,” ungkapnya.
Biodegradable plastic merupakan inovasi baru, di mana produknya berupa kantong serupa plastik namun tidak menggunakan polyethylene ataupun polypropylene, sebagaimana plastik konvensional. Biodegradable plastic yang diproduksi dua produsen tersebut menggunakan bahan dasar nabati, yaitu singkong. Selain singkong masih dapat menggunakan bahan lainnya seperti jagung.
Pemanfaatan plastik lebih banyak diserap oleh industri makanan dan minuman sebagai pengemasan produknya. Sebab sifat plastik yang lebih ringan, fleksibel, dan relatif lebih murah dibandingkan dengan material kaca dan logam.
“Kalau bisa dalam waktu dua tahun ini, produknya meningkat 10 kali lipat. Nantinya produk tersebut tidak hanya menggantikan shopping bag (tas belanja), melainkan juga digunakan sebagai packaging (kemasan) secara tradisional,” papar Airlangga.
Menyadari tidak akan bisa menghapus penggunaan produk plastik secara keseluruhan, saat ini yang paling memungkinkan adalah memakai ulang plastik (reuse), mengurangi pemakaian plastik (reduce), mendaur ulang sampah plastik (recycle), serta mengembalikan ke alam (return) melalui penguraian alami (biodegradable). Karena dari seluruh sampah plastik yang ada di dunia, hanya 15% yang bisa didaur ulang.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Direktur PT Inter Aneka Lestari Kimia, Herman Moeliana menyatakan, pihaknya mengharapkan pemerintah segera memberikan payung hukum yang jelas untuk mengatur penggunaan produk kemasan ramah lingkungan berbahan nabati sebagai alternatif pengganti produk kemasan plastik konvensional.
Sebab menurut dia, dengan belum adanya peraturan yang mengikat seperti sekarang ini, para pengusaha yang bergerak di bidang pengusaha eceran (para retailer) masih berkeberatan menggunakan produk non plastik, mengingat harganya yang masih lebih tinggi dibanding harga plastik.
Kerja sama teknologi
Sementara itu, Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Harjanto menyampaikan, permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh sampah plastik ini bukan hanya permasalahan Indonesia. Penanganannya perlu dilakukan dengan kolaborasi pihak terkait. Selain itu Indonesia berencana untuk bekerjasama dengan negara-negara lain dalam upaya menawarkan inovasi teknologi biodegradable plastic.
“Kementerian Perindustrian dengan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) sedang menjajaki satu kerja sama pengembangan biodegradable plastic ini dengan negara-negara Afrika penghasil singkong, yang merupakan salah satu bahan baku biodegradable plastic,” paparnya.
Kerjasama tersebut selain sebagai suatu aksi nyata Indonesia dalam menangani pencemaran plastik, juga merupakan suatu peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan bahan baku biodegradable plastic. Negara-negara di Afrika pada umumnya tergolong sebagai Least Developed Countries (LDCs) yang umumnya mendapatkan special treatment untuk memasarkan produknya di negara-negara maju (Eropa/Amerika Serikat), dengan memanfaatkan fasilitas Generalized System of Preference (GSP) maupun Special and Different Treatment (SDT).
“Pemerintah berharap bahwa produsen biodegradable plastic Indonesia dapat memanfaatkan negara-negara tersebut sebagai basis produksi produk biodegradable plastic, yang kemudian dapat diekspor ke pasar Eropa dan Amerika Serikat,” tuturnya. [Nonie]