SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Polemik terkait temuan beras berkutu di Gudang Bulog semakin memperlihatkan lemahnya koordinasi antarmenteri yang menangani sektor pangan di Indonesia. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, mengkritik keras perbedaan pernyataan dari berbagai pejabat terkait masalah ini.
Ketua Komisi IV DPR, Siti Hediati Soeharto (Titiek Soeharto), dalam rapat bersama Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada Selasa, 11 Maret 2025, mengungkapkan temuan beras berkutu di Gudang Bulog. Dalam kesempatan itu, Amran menegaskan bahwa beras berkutu tersebut tidak akan didistribusikan kepada masyarakat.
Namun, pernyataan ini berbanding terbalik dengan yang disampaikan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi. Ia menyebut bahwa beras berkutu yang ditemukan masih bisa dikonsumsi setelah melalui proses fumigasi atau pengendalian hama.
“Menteri Pertanian menyebut, beras berkutu itu tidak akan dipakai lagi. Sementara, Kepala Bapanas mengatakan beras berkutu itu masih dapat dikonsumsi. Menko Bidang Pangan malah berkilah jumlahnya sedikit. Terasa mahal sekali sebuah pekerjaan bernama ‘koordinasi’ di antara para pembantu presiden ini,” kata Alex Indra Lukman, Senin, 17 Maret 2025.
Tak hanya itu, data yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), juga berbeda dengan para menteri lainnya. Zulhas mengklaim setelah melakukan pengecekan langsung ke Gudang Bulog bahwa jumlah beras berkutu yang ditemukan hanya sedikit.
Sebaliknya, Mentan Amran dalam rapat dengan Komisi IV DPR justru menyebut jumlah beras berkutu yang ditemukan berada di angka 100 ribu hingga 300 ribu ton. Data ini, kata Amran, masih merupakan laporan sementara yang perlu dipastikan lebih lanjut.
Di sisi lain, Arief Prasetyo Adi tetap berpegang pada pendapatnya bahwa beras berkutu masih bisa dikonsumsi setelah melalui proses fumigasi.
Melihat ketidaksepahaman ini, Alex menekankan bahwa permasalahan utama bukan sekadar mana data yang benar, melainkan bagaimana publik melihat para menteri dalam menjalankan pemerintahan.
“Ini bukan soal mana yang benar, tapi bagaimana masyarakat memandang para pembantu presiden dalam menjalankan tugasnya,” ujar Alex.
Alex juga mengkritik ego sektoral yang kental dalam pengelolaan pangan. Menurutnya, jika dalam satu permasalahan sederhana seperti ini saja tidak ada kesepahaman, bagaimana bisa mereka menjalankan program besar seperti swasembada pangan yang menjadi bagian dari visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
“Mungkin saja nanti, jika program swasembada pangan ini sukses, yang akan terjadi adalah saling klaim siapa yang paling berjasa. Jika gagal, tentunya masing-masing akan mencari jalan selamat sendiri-sendiri, sebagaimana yang terjadi dalam kasus beras berkutu ini,” tutup Alex.
Dengan adanya perbedaan informasi dan kebijakan ini, publik semakin menuntut transparansi serta kerja sama yang lebih solid antarmenteri agar permasalahan pangan di Indonesia bisa ditangani dengan lebih baik.
(Anton)