SUARAINDONEWS.COM, Jakarta Anggota Komisi III DPR Arsul Sani memastikan pasal penodaan agama tetap dipertahankan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kendati demikian, dia mengakui pasal tentang penodaan agama dalam RKUHP nantinya akan mengalami perubahan namun hanya pada norma rumusannya.
Penegasan tersebut diungkapkan Arsul Sani dalam diskusi Forum Legislasi mengambil tema ‘Penghapusan Pasal 156a UU KUHP; Pasal Karet?’ di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/5) kemarin.
Diakuinya pasal 156a tentang penodaan agama sudah sejak dahulu sudah banyak yang menentang. Kemudian seiring vonis 2 tahun kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam kasus penodaan agama, dorongan untuk menghapus pasal ini kembali menguat.
Namun, DPR bersama pemerintah dalam rapat pansus RUU RKUHP bersepakat tidak akan melanggar apa yang telah diamanatkan MK dalam putusannya yang menolak uji materi (judicial review) pasal ini. Arsul mengaku sependapat dengan putusan MK yang menolak pengujian pasal tersebut dengan alasan pasal tindak pidana penodaan agama tidak bertentangan dengan konstitusi.
Meski putusan MK ini terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dan dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Hakim Konstitusi Harjono dan Maria Farida Indrati. Oleh karena itu, apa yang saat ini rumuskan oleh DPR dan pemerintah pun tidak akan keluar dari arah putusan MK tersebut.
“MK menyimpulkan pasal itu masih konstitusional. Namun dalam pertimbangan hukumnya, MK mengarahkan agar norma dalam pasal tersebut diperbaiki supaya tidak menjadi pasal karet, sehingga normanya mesti disempurnakan,” kata Arsul.
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menilai Pasal 156 dan 156a KUHP bukanlah seperti kitab suci yang tidak bisa diubah meski telah dikunci oleh putusan MK. Sebab, dalam benaknya sebuah UU yang baik adalah produk legislasi yang tidak menimbulkan multitafsir.
Refly menceritakan sejarah munculnya Pasal 156a di era orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Munculnya Pasal 156a KUHP ketika itu akibat lobi-lobi dari pemuka agama kepada Presiden Soekarno. Hasilnya, terbitlah Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Namun fakta di lapangan, kelompok mayoritas mendikte kelompok minoritas. Padahal, mestinya negara melindungi kelompok mayoritas maupun minoritas. “Bukan hanya kepada nonmuslim, tetapi kelompok muslim yang menjadi bagian minoritas dari umat muslim juga harus dilindungi,” katanya.(Bams/EK)