SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ambon, Nilai-nilai universal agama dinilai sebagai sumber utama moralitas yang dapat memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan tema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika dan Agama”, yang berlangsung di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, pada Jumat (20/9/2024).
Indonesia sebagai negara beragama memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing, seperti diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Hal ini juga berarti bahwa setiap warga negara diharapkan menjalankan nilai-nilai ajaran agama yang diyakini secara utuh. Semua agama, dalam universalitasnya, mengajarkan kebaikan, yang sejalan dengan nilai etika dan moralitas.
“Religiusitas bangsa Indonesia terangkum dalam pembukaan UUD 1945 dan sila pertama Pancasila. Menurut Buya Hamka, sila ini adalah urat tunggang yang mendasari sila-sila lainnya,” kata Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute dalam diskusi tersebut.
Namun, Andar menyoroti bahwa dalam praktiknya, ajaran agama di Indonesia kerap hanya menjadi ritual tanpa penghayatan mendalam. Agama lebih sering dianggap sebagai simbol dan institusi daripada menjadi pedoman perilaku. Fenomena ini berkontribusi pada munculnya penyelenggara negara yang tidak etis, yang seolah mencederai citra Indonesia sebagai “negara beragama”.
“Yang memprihatinkan adalah peluruhan etika dan moralitas publik di hadapan kita, sebuah paradoks di negara yang berlandaskan agama dan Pancasila,” tambah Andar.
Beberapa isu moral dan etika yang mencuat meliputi korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan terhadap perempuan, hedonisme, dan diskriminasi. Selain itu, fenomena seperti perusakan lingkungan, perdagangan manusia, serta politisasi agama dan politik identitas turut memperburuk keadaan etika publik di Indonesia.
Halili Hasan, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, mengungkapkan bahwa kelemahan sistem moral dan etika negara mencerminkan kondisi masyarakat. “Elite yang terpilih adalah representasi masyarakat kita. Maka, perbaikan harus dimulai dari masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Tamrin Amal Tomagola, sosiolog Universitas Indonesia, menambahkan bahwa pola asuh yang permisif terhadap anak-anak berkontribusi pada krisis tanggung jawab yang ada di masyarakat saat ini. Pola asuh yang tidak menanamkan rasa tanggung jawab di usia dini menciptakan generasi yang egois, tidak disiplin, dan minim etika.
Paradoks Keagamaan di Indonesia
Zuly Qodir, Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menyebut bahwa kurangnya sensitivitas etika di kalangan penyelenggara negara turut menyuburkan krisis etika di berbagai elemen masyarakat. Fenomena netizen yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial juga menjadi contoh nyata dari erosi moral di era digital.
Di sisi lain, Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyoroti adanya paradoks antara keyakinan agama dan kesejahteraan sosial. Menurutnya, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara beragama, terdapat korelasi negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, dan tingkat korupsi dengan keyakinan terhadap pentingnya agama.
Sementara itu, Budhy Munawar Rachman dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menekankan bahwa budaya Machiavellisme dalam politik Indonesia semakin memperburuk krisis moral. Machiavellisme, yang menekankan pada efektivitas dan pragmatisme daripada etika, mengakibatkan praktik politik yang manipulatif dan tidak bermoral, yang pada akhirnya merusak tatanan sosial.
Rekomendasi untuk Memperkuat Moralitas dan Etika
Di akhir diskusi, para peserta menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat nilai-nilai moral dan etika di Indonesia:
- Penegakan Hukum: Memasukkan nilai-nilai agama universal ke dalam undang-undang etika, serta pembentukan Mahkamah Etik untuk menegakkan sanksi etika secara lebih efektif. Sistem hukum juga harus mampu menghukum penyelenggara negara yang terlibat dalam korupsi atau manipulasi politik.
-
Pendidikan Karakter: Penguatan pendidikan agama yang berfokus pada pembentukan karakter, toleransi, dan kemanusiaan. Pola asuh di keluarga juga perlu diubah dari budaya “shame culture” menjadi “guilt culture”, sehingga anak-anak tumbuh dengan rasa tanggung jawab yang kuat.
-
Pendidikan Digital: Meningkatkan literasi digital sejak dini untuk mencegah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Data menunjukkan bahwa netizen Indonesia memiliki indeks kesopanan digital terendah di Asia Tenggara.
-
Revitalisasi Pendidikan Tinggi: Memasukkan nilai-nilai keutamaan etika ke dalam kurikulum di perguruan tinggi, serta memperbaiki praktik-praktik yang mencederai nilai akademik, seperti plagiarisme dan jasa pembuatan skripsi.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan nilai-nilai universal agama dapat benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mampu mengatasi krisis moral dan etika yang terjadi saat ini.
(Anton)