SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Rapat Komite III DPD RI kali ini terasa lebih dari sekadar acara formal. Dengan menggandeng Menteri Kebudayaan Fadli Zon, para senator di Senayan mendiskusikan hal yang kerap dianggap kuno tapi justru vital: budaya Indonesia.
Wakil Ketua Komite III, Dailami Firdaus, menegaskan pentingnya menjaga dan merawat keanekaragaman budaya Indonesia — yang jumlahnya bukan main banyak. Bukan cuma soal tari-tarian atau baju adat, tapi tentang identitas nasional, kebanggaan kolektif, bahkan potensi ekonomi.
“Warisan budaya tersebut tidak hanya menjadi kekayaan tak ternilai bangsa Indonesia, tetapi juga merupakan pilar penting dalam memperkuat jati diri nasional,” kata Dailami.
Menurut catatan Komite III, hingga akhir 2024, Indonesia sudah punya 2.213 warisan budaya tak benda. Jumlah ini naik dari 1.941 pada tahun sebelumnya. Bahkan, 15 di antaranya sudah diakui UNESCO, lho! Negara kita juga punya 9 situs warisan dunia, menjadikan Indonesia sebagai juara se-Asia Tenggara dalam urusan budaya yang diakui dunia.
Tapi jangan senang dulu. Dailami mengingatkan, jangan sampai budaya cuma jadi koleksi di rak — cantik tapi berdebu.
“Kita tidak boleh lagi melihat cagar budaya yang terbengkalai. Warisan budaya ini bisa jadi sumber daya ekonomi daerah dan nasional,” tegasnya dengan nada kritis.
Fadli Zon, yang kini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan RI, juga membawa pesan besar dari Istana. Ia menyebut bahwa budaya bukan hanya untuk dikenang, tapi juga bisa menjadi motor pembangunan dan alat perekat keindonesiaan.
“Dengan sumber daya yang ada, tidak hanya memelihara, memperkuat, dan menjaga kebudayaan, tapi akan membuat kebudayaan menjadi penggerak ekonomi nasional,” ucap Fadli penuh semangat.
Namun tentu, tantangan zaman tidak bisa dianggap enteng. Arus globalisasi dan teknologi bikin budaya tradisional makin “kesepian”. Generasi muda lebih kenal tren TikTok daripada tari daerah. Belum lagi masalah klasik seperti kurangnya dokumentasi, minim regenerasi pelaku budaya, sampai anggaran yang pas-pasan — terutama di daerah.
“Sangat penting bagi Kementerian untuk menyelaraskan program prioritasnya dengan kebutuhan nyata di tiap daerah,” ujar Dailami, mengingatkan agar kebijakan jangan hanya berhenti di kertas.
Rapat ini juga menyoroti pentingnya menyusun program kebudayaan yang inklusif, partisipatif, dan berkeadilan antar wilayah — bukan hanya Jawa-sentris. DPD dan Kementerian Kebudayaan sepakat, pelestarian budaya bukan hanya soal mempertahankan yang lama, tapi juga tentang merancang masa depan yang tetap berakar pada jati diri bangsa.
“Ini momentum menyatukan pandangan agar pembangunan kebudayaan berkelanjutan, berbasis kearifan lokal, dan memperkuat identitas bangsa di tengah dinamika sosial,” pungkas Dailami menutup rapat.
(Anton)