SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis berpendapat kasus calon tunggal pasangan kepala daerah yang tidak diatur dalam ketentuan perundangan seperti yang terjadi dalam pilkada tahap pertama 9 Desember 2015 lalu, bukan tidak mungkin akan terjadi pada pemilu serentak 2019 mendatang.
Oleh karena itu, Margarito mengingatkan draf RUU Pemilu yang akan segera diajukan pemerintah kepada DPR dapat memperhitungkan segala sesuatu yang dianggap tidak mungkin untuk diakomodir.
“UU Pemilu jangan sampai membenarkan capres tunggal dan capres independen. Kalau pada 20 Oktober 2019 belum ada capres terpilih, maka harus ada aturan memberi kewenangan kepada MPR RI (darurat) untuk mereview keputusan MK yang melampaui kewenangan konstitusi (putusan MK tentang pilkada dilakukan secara serentak) itu. Nanti, MPR yang harus putuskan,” kata Margarito diskusi ‘Polemik RUU Pemilu Serentak 2019’ di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/9/2016)kemarin.
Hal-hal lain yang juga tidak mungkin dinilai Margarito bisa juga terjadi. Misalnya, menurut dia bukan tidak mungkin capres 2019 akan memunculkan calon presiden hasil naturalisasi warganegara lain. Hal ini karena belum adanya ketentuan yang malarang pasangan capres-cawapres hasil dari naturalisasi.
“Karena suatu saat mungkin kekurangan stok, bisa juga Presiden dari naturalisasi. Pemain bola saja bisa, kenapa Presiden tidak bisa,” kata Margarito.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Chusnul Mar’iyah menilai jika Pemilu serentak ini menjadi tantangan parpol, yaitu capres – cawapres seperti apa yang bisa mempengaruhi suara parpol? “Apakah kader yang juga bandar, bandar, atau parpol juga menjadi bandar? Ini yang sulit. Belum lagi problem money politics, sengketa hasil pemilu. Pileg saja rumit, apalagi digabung dengan Pilpres,” kata Pengajar dari FISIP UI ini.
Karena itu dia mengusulkan PT itu 5 persen agar sejak awal Parpol sudah bisa berkoaliasi. Lalu, penyelenggara pemilu (KPU) kata Chusnul, jangan sampai cara pandang pemerintah, DPR dan KPU sendiri siklus pemilu ini sebagai proyek sehingga penganggarannya sangat besar, sampai Rp 21 triliun. Karena itu memilih komisioner KPU pusat daerah itu harus benar-benar berkualitas dan professional, agar siap menggelar pemilu.
“Bahwa KPU dan parpol harus diperkuat, sehingga tidak perlu lagi membiayai parpol untuk membayar kadernya sebagai pengawas pemilu. KPU dan Bawaslu pun tidak perlu lagi membayar pengawas dan petugas lainnya di luar KPU,” ujarnya.
Sekarang ini kata Chusnul, Presiden dan Wapres-nya layaknya seperti pedagang, menteri yang munculnyapun seperti pedagang, dan 68 persen anggota dan pimpinan DPR RI juga mirip pedagang. “Jadi, dengan KPU dan parpol yang lemah, maka bisa dususupi bandar dalam setiap siklus pemilu, dan membahayakan demokrasi serta mengancam kedaulatan bangsa ini. Untuk itu, dulu di KPU taka da satu pun tenaga asing terlibat pemilu temasuk di IT KPU,” katanya.
Anggota Komisi II DPR RI Achmad Baidowi mengatakan merujuk pada pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahwa RUU Pemilu yang akan dibahas dibahas DPR bersama pemerintah terdiri dari 500-an pasal, namun hanya 13 – 17 pasal yang krusial yang perlu disingkronkan. Diantara soal parpol pengusung Capres – cawapres, sistem pemilu, sengketa pemilu, parliamantery threshold (PT) antara 3,5 hingga 7 persen, penyelenggara Pemilu, dan keterwakilan perempuan. Khusus untuk parpol pengusung Capres merujuk ke hasil Pemilu 2014.(EKJ)