SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Tepat 75 tahun lalu, pada 3 April 1950, seorang tokoh besar bangsa—Mohammad Natsir—berdiri di atas podium parlemen dan menyampaikan sebuah gagasan penting yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir. Ia menggugah kesadaran nasional bahwa arah perjalanan Indonesia harus dikoreksi.
Dalam pidatonya, Natsir menolak bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang saat itu dijalankan pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Indonesia telah salah arah, karena mengikuti kemauan Ratu Belanda untuk menjadi Negara Serikat,” ujar Natsir kala itu.
Indonesia yang Terjebak dalam Kompromi KMB
Usai Perang Kemerdekaan, posisi Indonesia sangat lemah di mata dunia. Untuk memperoleh pengakuan kedaulatan, Indonesia harus menerima RIS, serta membayar biaya Agresi Militer Belanda sebesar 4,5 miliar gulden.
Namun langkah kompromistis itu bukan berarti sebuah kesalahan besar. Menurut Ketua DPD RI ke-5, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, langkah itu serupa dengan Perjanjian Hudaibiyah yang pernah diambil oleh Nabi Muhammad SAW demi keselamatan umat Islam.
“Saya sebagai umat Islam, melihatnya seperti Perjanjian Hudaibiyah tahun 628 M. Meski tidak menguntungkan, namun strategi itu menyelamatkan umat dan membuka jalan menuju kemenangan,” ujar LaNyalla.
Sumpah Pemuda Dilanggar, Natsir Menggugah Kesadaran Bangsa
Mosi Integral Natsir tidak hanya menggugat bentuk negara, tapi juga menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda 1928: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
“Mengapa kita malah menjadi negara-negara kecil seperti Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Negara Sumatera? Bukankah ini mencederai semangat pemuda yang telah bersumpah satu tanah air?” tegas LaNyalla mengutip semangat Mosi Natsir.
Pidato monumental itu akhirnya membuka jalan bagi Presiden Soekarno untuk secara resmi mengembalikan Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950.
Amandemen Konstitusi 1999–2002: Titik Balik yang Terlupakan?
Dalam tulisannya, LaNyalla juga menyoroti arah konstitusi Indonesia pasca reformasi. Menurutnya, amandemen UUD 1945 antara 1999 hingga 2002 telah menjauhkan bangsa dari nilai-nilai Pancasila dan cita-cita Proklamasi.
“Kita telah menjadi bangsa lain. Lebih dari 95 persen pasal-pasal UUD diubah, dan negara Proklamasi seolah dibubarkan,” ujarnya, mengutip pandangan mendiang Prof. Kaelan, Guru Besar Filsafat UGM.
Lebih jauh, LaNyalla juga mengungkap bahwa proses amandemen tersebut tidak sepenuhnya steril dari pengaruh asing.
“Menurut buku *Menyusun Konstitusi Transisi karya Valina Singka Subekti, aktor-aktor asing seperti USAID, UNDP, dan IFES terlibat aktif dalam proses amandemen,”* tulisnya.
Peran DPD RI: Mengapa Harus Lebih dari Sekadar Pelengkap?
LaNyalla menilai, dalam upaya mengembalikan kedaulatan rakyat dan memperbaiki arah bernegara, DPD RI harus diberikan peran yang lebih kuat dalam sistem demokrasi Indonesia.
“DPD RI tak bisa hanya jadi pelengkap. Tapi juga tak perlu jadi majelis tinggi seperti di negara federal,” tegasnya.
Dalam disertasi doktoralnya yang sedang disusun, LaNyalla mengusulkan agar DPD RI menjadi satu kamar dalam DPR RI. Tujuannya agar DPD sebagai wakil daerah bisa ikut membentuk Undang-Undang, dan tidak hanya dimonopoli oleh partai politik.
“Produk hukum yang mengikat seluruh rakyat tidak boleh hanya ditentukan oleh ketua umum partai. Harus dibahas utuh oleh wakil daerah dari unsur non-partai. Inilah makna otonomi yang sejati,” tegas LaNyalla.
Kembali ke Akal Sehat, Demi Masa Depan Indonesia
Menutup refleksi 75 tahun Mosi Integral Natsir, LaNyalla mengingatkan bahwa perjalanan Indonesia tak lepas dari kepentingan global.
“Bangsa ini selalu dibayang-bayangi kekuatan imperialis kapitalis. Karena itu, kita harus kembali ke rumusan bernegara yang digagas para pendiri bangsa—dengan akal sehat dan kesadaran penuh,” pungkasnya.
(Anton)