SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Tim Pencari Fakta (TPF) PEN Subsektor Film yang dibentuk Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman (KPMP), menemukan fakta bahwa pelaksanaan penyaluran bantuan untuk perfilman melalui program PEN Subsektor Film, ditemukan unsur pemufakatan jahat atau kolusi.
Indikasi itu, sebagaimana simpulan temuan TPF PEN subsektor Film, bahkan dimulai sejak sebelum secara teknis pelaksanaannya dilakukan melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI. Secara kronologis, sebagaimana dijelaskan Ketua KPMP PEN Subsektor Film, Sonny Pudjisasono, di sekretariat KPMP, Lantai 4, Kantor Senakki, Gedung PPHUI, Jalan Haji R. Rasuna Said, Karet Kuningan, Jakarta.
KPMP, imbuh Sonny Pudjisasono, pada mulanya melayangkan surat resmi kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sandiaga Salahuddin Uno, beberapa waktu lalu, meminta agar pemberian bantuan untuk film via program PEN Subsektor Film dihentikan sementara.
“Karena ada kegaduhan, atau noise di masyarakat perfilman, akibat hasil kuratorial yang kami nilai tidak memenuhi asas keadilan,” kata Sonny Pudjisasono, Rabu (1/12/2021) petang.
Dalam suratnya KPMP, imbuh Gusti Randa, menyebutkan sejumlah indikasi adanya kolusi dalam proses pelaksanaan program ini.
Sebelum akhirnya, dari surat itu, lima orang perwakilan KPMP, yaitu Gusti Randa, Sonny Pudjisasono, Akhlis Suryapati, Adisurya Abdi, dan Rully Sofyan bertemu dengan Inspektorat Utama Kemenparekraf RI, Restog Krisna Kusuma, di Balairung, Gedung Sapta Pesona, Jakarta pada Jumat (26/11/2021) silam.
Dari pertemuan itu, Inspektorat Utama Kemenparekraf RI menyatakan tidak ada yang salah dengan sistem kuratorial program PEN Subsektor Film. Meski KPMP memiliki sejumlah data, plus temuan cacat kurasi, bahkan indikasi suap. Sehingga membuat KPMP mengajukan tuntutan agar program bantuan film melalui PEN Subsektor Film dibatalkan.
“Dalam pertemuan itu, oleh Inspektorat Utama Kemenparekraf, KPMP juga dipertemukan dengan sejumlah pejabat terkait serta perwakilan Kurator yang sekaligus mewakili Kemendikbud Ristek. Juga Kurator yang sekaligus mewakili Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf),” imbuh Akhlis Suryapati, salah satu anggota TPF PEN Subsektor Film.
Sore harinya di Pusat Perfilman H Usmar Ismail, KPMP membentuk Tim Pencari Fakta yang diketuai Gusti Randa, dengan wakilnya Sonny Pudjisasono dan sekretaris Rully Sofyan. Bergabung dengan tim ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PARFI, Perfiki Law Firm, dan Pengacara dari Komunitas KCFI.
Pada rapat TPF PEN Subsektor Film dengan KPMP Senin (29/11/2021) kemarin, telah dikonstruksikan alur pelaksanaan program PEN Subsektor Film, serta mulai dikumpulkan fakta-fakta serta bukti-bukti mengenai adanya dugaan praktek ketidakadilan yang sengaja dilakukan oleh sejumlah pihak yang bekerja melaksanakan program ini.
“TPF menemukan fakta, adanya pemufakatan yang berindikasi kolusi, telah berlangsung sejak program bantuan film ini dicanangkan oleh Pemerintah,” kata Akhlis Suryapati, anggota TPF PEN Subsektor Film.
Secara kronologis, Akhlis Suryapati menjelaskan, TPF menyisir kasus ini dimulai sejak adanya usulan dari 20 pihak mengatasnamakan asosiasi perfilman dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) di dalamnya. Yang dilanjutkan dengan pertemuan belasan pengusaha film, kemudian dibentuknya Dewan PEN Subsektor Film yang terdiri dari Triawan Munaf (mantan Kepala Bekraf), Wishnutama Subandio (mantan Menteri Parekraf RI), serta Angela Tanoesoedibjo (Wamen Parekraf RI yang punya keterkaitan dengan perusahaan film MNC Pictures).
TPF Subsektor Film kemudian mengkonstruksi kasus bantuan film dalam program PEN Subsektor Film ini, berlanjut dengan kronologi dibentuknya Pokja oleh Perum Perusahaan Film Negara (PFN) atas arahan dari Kementerian BUMN.
Seperti diketahui, Perum PFN saat ini statusnya adalah BUMN yang bergerak di sektor perfilman. Pokja bentukan PFN, telah melakukan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat dengan berbagai pihak, termasuk dengan pengusaha-pengusaha film, juga telah menyusun nama-nama kurator yang mencapai sekitar 30 nama.
Pada proses ini, TPF juga menemukan fakta adanya permufakatan berindikasi kolusi. TPF menyusuri alur pelaksanaan PEN Subsektor Film, dengan mempelajari adanya konsep-konsep yang disusun oleh Pokja PFN, termasuk proses penyusunan Naskah Petunjuk Teknis (Juknis) yang melibatkan berbagai pihak, termasuk otoritas keuangan dan pengawas anggaran.
Naskah Juknis ini pun berubah-ubah dari semula hanya 30 halaman berkembang menjadi 300 halaman. TPF juga menyusuri berlangsungnya rapat-tapat intens antara unsur Kementerian BUMN dengan unsur Kemenparekraf yang masing-masing menyertakan Wakil Menteri.
Rapat puncak yang akhirnya memutuskan pelaksanaan PEN Subsektor Film ditangani Kemenparekraf, juga mempertemukan Menteri BUMN dengan Menteri Kemenparekraf.
Pelaksanaan PEN Subsektor Film pada gilirannya ditangani oleh Kemenparekraf, dengan menafikan Konsep dan Juknis yang pernah disusun oleh Pokja PFN.
Pokja PFN yang secara resmi tidak pernah dibubarkan, faktanya, menjadi tidak berperan dalam proses selanjutnya, termasuk dalam penyusunan Kurator.
Kurator terbentuk lebih didominasi oleh arahan Dewan PEN Subsektor Film. Begitu pun hasil-hasil kuratorial laporannya diutamakan tertuju kepada Dewan PEN Subsektor Film.
TPF PEN Subsektor Film terus bekerja untuk mengumpulkan fakta dan bukti-bukti guna memperkuat alasan-alasan, kenapa pelaksanaan PEN Subsektor Film harus dihentikan atau dibatalkan.
Sejauh ini KPMP kukuh pada tuntutannya untuk dibatalkannya program PEN Subsektor Film yang sekarang sudah berjalan. Ihwal adanya berbagai desakan agar masalah ini dibawa ke ranah hukum, melalui pelaporan ke KPK, Bareskrim, Kejaksaan, dan sebagainya, pihak TPF maupun KPMP belum memutuskan.
Seperti disampaikan KPMP waktu pertemuan dengan Inspektorat Utama Kemenparekraf, akan lebih mudah jika Inspektorat menjalankan tugas dan fungsinya melakukan pengawasan dan pemeriksaan di lingkungan Kementeriannya.
Karena dalam pelaksanaan Program PEN Subsetor Film ini – menurut Menteri Sandiago Uno – dilakukan dengan koordinasi berbagai pihak terkait, yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Kementerian Keuangan, Komite Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kementerian BUMN termasuk Perum Produksi Film Negara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mabes Polri, Badan Perfilman Indonesia, Asosiasi Komunitas Film Terkait, Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia.
“Prinsip dasarnya, kita merasa unsur keadilannya tidak terpenuhi,” tekan Akhlis Suryapati. “Tapi prinsip dasar lainnya, kami tidak ingin menyeret orang ke penjara,” imbuh dia.
Gusti Randa menambahkan, per hari ini, Rabu (1/12/2021) TPF PEN Subsektor Film sudah berkirim surat resmi kepada Komisi III (Komisi Hukum), dan XI (Komisi Anggaran DPR RI). Dan dalam waktu dekat akan dipanggil resmi DPR, sebelum tanggal 15 Desember 2021, saat DPR RI memasuki masa reses.
“Di atas semua, kerja kita berbasis data yang valid. Agar tidak ambigu, dan tidak jadi fitnah. Sebagaimana prinsip PEN, yang berkeadilan, tidak menimbulkan moral hazard, transparan dan akuntabel,” kata Gusti Randa sembari menambahkan, TPF bukan barisan sakit hati, karena proposalnya ditolak, misalnya. “Kita bahkan tidak membuat, apalagi mengirimkan proposal,” katanya.
Adisurya Abdi menambahkan, TPF PEN Subsektor Film menemukan data. Bahwa dari 22 film yang mendapatkan biaya promosi, empat diantaranya filmnya sudah diputar di OTT, kemudian diedit ulang, demi mendapatkan bantuan. Kemudian dari skema pra produksi, jika ada PH yang dapat bantuan, kemudian uangnya tidak jadi untuk memproduksi, bagaimana pertanggungjawabannya?
“Persoalan utama kita, meluruskan program Pemerintah, supaya tepat guna. Tapi kenyataannya, cara kurator bekerja tidak ada keterbukaannya. Kita ada bukti, tapi tidak kita umbar,” kata Adisurya Abdi.
Dia menambahkan, pada dasarnya tidak mempermasalahkan siapa yang dapat bantuan, tapi harus ada kajian yang serius atas persoalan ini. “Ini, kan informasi public. Tidak boleh ada yang disembunyikan,” kata Adisurya Abdi. (Rls)