SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Kita dulu mungkin pernah mendengar tentang SARS, Flu Burung, Lumpuh Layu, dan lain-lain, yang kelihatannya sempat menjadi Epidemi. Belum lagi ada beberapa peristiwa-peristiwa lain yang membuat kita takut dan terjadi secara cepat dan sporadis seperti bencana alam dan sebagainya. Dalam kultur dan kepercayaan masyarakat Jawa, pasti kerap di ingat bahwa segala peristiwa tersebut berhubungan dengan Betara Kala.
Betara Kala jika secara harfiah diartikan sebagai Dewa Kala, sebuah simbol yang jika sudah waktunya siapapun akan dibinasakan. Jika sudah ada tanda tandanya maka siapapun tak akan bisa melawannya. Ini mungkin cerita pewayangan yang sudah mendarah daging, menyangkut sesuatu yang berkaitan dengan keselamatan manusia.
Dengan kata lain, apabila seseorang sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Batara Kala akan menjemputnya. Jadi ada saatnya orang yang beruntung dan orang saat yang tidak beruntung. Namun disisi lain ada satu keyakinan bahwa alam ini perlu diseimbangkan.
Sebagai seorang spiritualis metafisika, Ki Kusumo justeru melihat fenomena pandemi ini lebih kepada sebuah peristiwa, yang oleh masyarakat Jawa menyebutnya dengan nama ‘Pageblug’. Yakni yang menyangkut sebuah peristiwa ledakan, tentang kesialan, sebuah wabah, sebuah penyakit yang menyerang secara sporadis pada setiap manusia (seluruh dunia, red) yang sebenarnya dikendalikan oleh makhluk-makhluk tak kasat mata (tidak terlihat oleh mata).
Hal ini sebenarnya lebih merupakan pada bagian dari alam yang membutuhkan keseimbangan tubuhnya. Bagian alam yang menghendaki menyeimbangkan sistemnya, karena banyaknya hal-hal yang sudah merusak alam, bagaimana bumi kini sudah semakin tua, bumi yang sudah terbatuk-batuk dan sudah tua luar biasa umurnya telah dirusak sana-sini. Di jarah pohon pohonnya, dikuras sumber sumber daya alamnaya, dan lain sebagainya. Sehingga terjadilah gempa, longsor dan segala macam akibatnya.
Karena ketidak seimbangan hal tersebut itulah, akhirnya terjadilah di mana sisitem bumi akhirnya sudah tidak seimbang. Hingga akhirnya bumipun secara alami mengalami atau melakukan sebuah prosesnya. Membicarakan bumi maka kita akan membicarakan adanya alam nyata dan alam tidak nyata, adanya alam sadar dan alam tidak sadar. Dan terjadinya pergerakan itu terjadi karena sebuah pengaturan sistem yang begitu alami berjalan dengan sendirinya.
Oleh karenanya, lanjut Ki Kusumo menyikapi ‘Peristiwa Kala’ yang saat ini bisa membuat heboh seluruh dunia. Dimana seluruh dunia sedang dihebohkan oleh wabah virus Corona (Covid-19). Sebagai bagian dari masyarakat Jawa, dirinya melihatnya, jika tiba-tiba terjadi ‘Pageblug’ seperti misalnya ada peristiwa hama belalang dimana-mana, lalu bagaimana kita mengatasinya? Ada yang namanya ritual, sehingga belalangnya pergi.
Bukan dengan cara disemprot dengan bahan kimia, dan bukan dilakukan sebuah proses yang nyata, bukan itu. Tetapi sebuah proses ritual yang berhubungan dengan alam gaib. Karena biar bagaimanapun hal-hal tersebut ada yang mengaturnya. Sebuah peristiwa yang berkaitan dengan alam nyata itu ada yang mengaturnya, jelas Produser Lo Banteng ini.
Jadi ada sebuah energi yang membuat mereka melakukan tindakan dan perbuatan yang terjadi seperti sekarang ini. Sehingga kalau kita kembali lagi mengingat zaman dulu, ketika hama tikus menyerang. Orang justeru tidak melakukan tindakan membunuh, mengejar ataupun melempar tikus, tetapi melakukan proses ritual sehingga sawah terbebas dari tikus. Atau kita coba mengingat zaman sebelum sekarang, dimana masih menggunakan cara tradisional, obat-obatan pun belum mumpuni dan hebat seperti saat ini. Tetapi faktanya, masyarakat bisa tetap hidup bertahan, dan melanjutkan kehidupannya dari zaman itu hingga sampai saat ini.
Artinya, zaman dahulu kita sudah memiliki sebuah teknologi yang berkaitan dengan dunia spiritual. Jangan pernah lupakan sejarah, bahwa kita tidak dilahirkan dari lubang batu, ada sebuah proses yang akhirnya kita ada sampai saat ini, detik ini.
Jangan pernah lupakan Tuhan, jangan pernah lupakan bahwa di alam nyata ada alam tidak nyata, bahwa kita hidup berdampingan. Semua harus saling menghargai, mentoleransi sehingga keseimbangan alam itu terjadi. Dalam kondisi seperti ini Ki Kusumo melihat wabah virus Corona (Covid-19) sudah begitu luar biasa, sudah melebihi alam fikir kita, begitu cepatnya beredar, begitu banyaknya korban. Sampai sepertinya setiap pemerintah negara-negara seperti lumpuh, seperti tidak bisa menghadapi wabah virus Corona (Covid-19). Oleh karena itu dirinya berfikir bahwa ini adalah peringatan dari alam semesta.
Bahkan sampai sholat Jum’at berjamaah saja ditiadakan, sepertinya masyarakat kita lebih takut Virus Corona (Covid-19) dari pada takut sama Tuhan.
Ini adalah ‘Pageblug’ yang harus kita sikapi dengan melakukan sebuah proses ritual keheningan jiwa. Kita harus mengingat bahwa kita ini siapa dan berasal dari mana? Kita ini harus bagaimana dan harus melakukan apa? Bukan hanya secara fisik kita melakukan sebuah proses, pekerjaan yang berkaitan dengan pembasmian, tapi kita juga harus memiliki sebuah tolak ukur spiritual, kita kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita mengingat, kita berdoa, kita melakukan sebuah prosesi spiritual. Kita melakukan sebuah proses yang harus kita lakukan secara spiritual. Ki Kusumo menggaris-bawahi bahwa ini secara spiritual.
Jadi dirinya menginginkan Istana untuk melakukan tindakan tindakan yang berkaitan dengan kebudayaan kita jaman dahulu. Kebudayaan masa lampau yang mungkin saat ini sudah mulai kita lupakan. Istana segera melakukan hal tersebut. Dirinya pun mengajak seluruh warga masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk juga sama-sama agar kita bisa berdoa bersama, kita melakukan sesuatu yang berkaitan dengan spiritual.
Jadikan pandemi Corona (Covid-19) untuk masyarakat kembali bersahabat dengan alam dan kembali mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, pesan Ki Kusumo seraya mengakhiri perbincangannya. Semoga kita bisa belajar untuk dapat mencerna atau menyikapi peristiwa-peristiwa negatif yang terjadi, khususnya sebuah peristiwa yang sangat luar biasa abad ini.(tjo; foto dok)