SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, kembali menegaskan posisi strategis Indonesia di kancah global. Dalam diskusi bertema “Arah Kebijakan Geostrategis dan Geopolitik Indonesia” di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Bahlil bicara lugas soal pentingnya hilirisasi, kekayaan sumber daya alam, dan tantangan global yang sedang dihadapi Indonesia.
Nikel Jadi Barang Mewah Dunia, Indonesia Pegang 43 Persen Cadangan Global
Bahlil membuka pembicaraan dengan menyoroti betapa berharganya nikel di mata dunia saat ini. Komoditas yang dulu dianggap biasa, kini menjadi rebutan karena penting untuk energi terbarukan dan mobil listrik.
“Nikel sekarang ini jadi barang langka dan mewah di dunia. Total cadangan nikel dunia, 43 persen ada di Indonesia,” tegas Bahlil.
Tak Hanya Nikel, Indonesia Juga Punya Kobalt dan Mangan
Selain nikel, Indonesia juga menyimpan dua bahan utama lain untuk baterai kendaraan listrik: kobalt dan mangan. Satu-satunya komponen yang belum dimiliki hanya lithium.
“Sekarang China, Jepang, Korea, Uni Eropa, Amerika… semua minta komoditas ini dari kita. Ini nilai strategis!” ujar Bahlil.
Hilirisasi: Langkah Berani yang Bikin Dunia Goyang
Kebijakan menghentikan ekspor bahan mentah dan membangun industri di dalam negeri (hilirisasi) jadi bukti keberanian Indonesia mengamankan kepentingan nasional. Bahlil menegaskan, keputusan ini bukan tanpa tantangan.
“Tahun 2020 kita stop ekspor ore nikel, Uni Eropa langsung gugat kita ke WTO. Tapi kita tetap hadapi. Mereka sudah kecanduan bahan mentah dari kita, tapi kita tak mau hanya jadi tukang gali,” katanya.
Dampak Nyata: Ekspor Nikel Meroket, Lapangan Kerja Tercipta
Kebijakan hilirisasi membuahkan hasil besar. Nilai ekspor nikel Indonesia melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir.
“Dulu (2017–2018) ekspor nikel kita cuma 3,3 miliar dolar AS. Tahun 2024 tembus 34 miliar dolar AS. Kita jadi eksportir nikel terbesar dunia!” ungkap Bahlil.
Konflik India–Pakistan Tak Guncang Ekspor Batu Bara
Di tengah isu geopolitik kawasan seperti ketegangan India–Pakistan, Bahlil menegaskan bahwa ekspor batu bara Indonesia tetap aman dan stabil.
“Nggak ada masalah. Mereka tetap butuh batu bara kita. Belum ada gangguan,” katanya singkat namun pasti.
Geopolitik Bukan Lagi Cuma Urusan Dagang
Bahlil mengajak masyarakat untuk lebih peka terhadap kondisi global, termasuk posisi strategis Indonesia. Menurutnya, dunia sekarang lebih fokus mengamankan kepentingan domestik, bukan lagi bicara konsensus global semata.
“Geopolitik hari ini tidak sepenuhnya soal dagang. Kita harus paham kelebihan dan kelemahan kita. Semua negara sekarang mikir untuk diri sendiri,” jelasnya.
Ia juga menyoroti ketidakkonsistenan negara-negara maju yang justru mundur dari komitmen pengurangan emisi global.
Indonesia Tak Mau Lagi Jadi Penonton
Bahlil mengingatkan bahwa Indonesia dulu selama 360 tahun hanya dijadikan penyedia bahan mentah. Kini, saatnya berubah.
“Kita pernah dijajah 360 tahun dan cuma disuruh kirim barang mentah. Kita tidak akan ulang kesalahan yang sama. Jangan lagi anggap kami bangsa bodoh,” tegasnya dengan penuh semangat.
Tantangan Baru: Distribusi Pendapatan & Daya Beli
Meski pencapaian di sektor hilirisasi besar, Bahlil menyebut tantangan ke depan adalah memastikan distribusi manfaat secara adil bagi masyarakat.
“Kalau mau jaga kepentingan nasional, harus ada keadilan sosial. Pendapatan per kapita kita harus tembus USD 9.000–10.000. Dan itu tak bisa lepas dari hilirisasi,” ujarnya.
Indonesia Siap Tantang Status Quo Global
Di akhir diskusi, Bahlil menyentil bagaimana negara-negara maju mungkin tak nyaman dengan langkah Indonesia. Tapi Indonesia tetap pada jalurnya.
“Negara maju tak akan rela negara berkembang seperti kita jadi negara maju. Tapi kami tidak akan mundur. Hilirisasi harus jadi bagian dari kesepakatan G20. Kita ikut kalau ada solusi konkret,” tutupnya.
Indonesia tidak hanya duduk manis menunggu perubahan dunia, tetapi aktif menciptakan arah baru bagi masa depannya. Dari nikel hingga geopolitik, Indonesia kini bicara lantang di meja global.
(Anton)