SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pemerintah tentu saja sadar betul bahwa lahirnya UU Otsus Papua dan Papua Barat didasari oleh kenyataan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Hal di atas secara jelas ditulis dalam Konsideran Menimbang UU Otsus. Kesenjangan pembangunan antara Provinsi Papua dan daerah lain, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua, perlindungan dan penegakan HAM, semuanya menjadi ukuran bagi pemberlakuan Otsus di tanah Papua.
Apa yang ditulis di Konsideran Menimbang tersebut menyuguhkan cita-cita mulia negara untuk mengangkat marwah Papua ke derajat yang tinggi. Apakah semua itu terlaksana? Tahun demi tahun dilewati, dan fakta menunjukkan bahwa tulisan di Konsideran
Menimbang itu hanyalah sebuah utopia, mimpi yang tak tercapai. Kesejahteraan Papua dan Papua Barat hanya dibuktikan dengan IPM yang terendah, persoalan HAM tidak pernah selesai, bahkan oleh Komnas HAM sekalipun tak berujung tuntas. Orang Papua lalu bertanya, ada apa ini?
Dalam bayang-bayang mimpi untuk maju dan sejahtera, arus diskriminasi rasial justru kerap dialami Orang Papua. Di pegunungan sana, perlawanan bersenjatapun terjadi. Ketidakpuasan, kemarahan, dendam yang berurat akar, akhirnya terkulminasi dalam perang yang celakanya mengorbankan rakyat sipil. Lalu Orang Papua bertanya, ada apa ini?
Jangan dilupakan, salah satu Konsideran Menimbang menyebutkan, bahwa telah lahir KESADARAN BARU di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional terkait pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.
KESADARAN BARU inilah yang tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Celakanya, alih-alih menjawab pertanyaan orang Papua tentang berbagai solusi untuk persoalan Papua, pemerintah dengan serta merta memberi label teroris kepada KKB.
Logika sederhana masyarakat langsung mengatakan bahwa pelabelan itu merupakan tanda bahwa pemerintah telah gagal memberi akses pada lahirnya kesadaran baru masyarakat Papua, gagal menciptakan kesejahteraan di Papua melalui UU Otsus yang gagal mengedepankan kedamaian di Papua dan gagal menjawab aspirasi rakyat Papua.
Tindakan ‘melemparkan kesalahan’ pada KKB semakin menunjukkan bahwa pemerintah lemah dalam membangkitkan rasa cinta orang Papua pada NKRI. Dentuman sejarah yang terus dipertanyakan, disertai dengan bumbu label teroris ini, akan sangat berbahaya bagi generasi Papua di masa mendatang.
Pemerintah tentu memiliki kuasa. Negara tentu memiliki wewenang untuk menentukan status militerisme di Papua. Namun apakah sudah ada kalkulasi yang matang mengenai potensi korban rakyat sipil yang jatuh akibat militerisme?
Bukankah perang hanya menimbulkan kebencian baru? Sekali lagi, inilah kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan Otsus. Sampai di sini Orang Papua akan bertanya, apa kabar nasib Otsus Jilid 2? Semoga tak ada perang lagi! Kitong su cape, Bapa Presiden.
Penulis adalah Dr. Filep Wamafma, SH, M.Hum, Senator asal Provinsi Papua Barat