SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Setelah melewati pesta demokrasi terbesar dalam sejarah Indonesia di 2024, para penyelenggara, pengawas, hingga legislator mulai buka-bukaan soal apa saja yang bikin ribet dan rawan di balik layar pemilu.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengakui bahwa dari tahun ke tahun, jumlah pelanggaran memang menurun, tapi bukan berarti sistemnya sudah ideal. Salah satu sorotannya adalah soal Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang kerap terjadi.
“Kami penyelenggara nggak ingin PSU berkali-kali. Ini jadi tanda bahwa sistem kita perlu diperbaiki, lebih maju lagi,” ujar Bagja, Kamis (8/5).
Bagja bahkan menyebut ada kasus unik, di mana calon kepala daerah pernah dipidana lewat jalur militer hingga akhirnya harus PSU. Dia menegaskan, penting bagi peserta dan pengusung calon untuk lebih terbuka.
“Kalau memang bermasalah, diungkap saja sejak awal. Itu bagian dari kesadaran politik,” tegasnya.
Multitafsir & Putusan MK di Tengah Jalan
Masalah lain yang tak kalah krusial adalah soal aturan pemilu yang multitafsir. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kerap datang di tengah jalan, bahkan saat proses verifikasi calon.
“Hampir di pilpres, dan juga di pilkada terjadi. Ini yang bikin hukum pemilu nggak punya kepastian. Padahal itu prinsip krusial,” kata Bagja lagi.
Solusinya? Revisi total UU Pemilu. Bagja menekankan, putusan MK sebaiknya berlaku untuk pemilu berikutnya, bukan yang sedang berjalan. Tujuannya jelas: kepastian hukum dan stabilitas politik.
Model Keserentakan Bikin Pemilih dan Penyelenggara Ngos-ngosan
Masalah keserentakan juga disorot habis-habisan. Menurut Bawaslu dan KPU, model pemilu serentak saat ini bikin semua pihak kelelahan, bahkan berisiko tinggi salah logistik.
“Teman-teman KPU tahun lalu waktu distribusi logistik sangat terbatas. Harusnya diperluas agar logistik tidak tertukar atau terlambat,” kata Bagja.
Maka, lahirlah tiga varian model pemilu baru yang diusulkan:
- Varian I: Pemilu legislatif Februari 2029, Pilkada serentak di November 2029.
- Varian II: Pemilu nasional 2029, pemilu lokal di 2030/2031.
- Varian III: DPR, DPD, Presiden, dan DPRD di 2029, Pilkada di 2030/2031.
“Varian II dan III lebih realistis, nafas penyelenggara dan masyarakat lebih panjang,” tambahnya.
KPU: Ini Pemilu Paling Ruwet Sepanjang Sejarah, Tapi Kami Bertahan
Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menyebut Pemilu 2024 adalah pemilu paling ruwet yang pernah dikelola, karena dilakukan dalam satu tahun dan satu siklus.
“Kalau dibilang ruwet, iya. Tapi alhamdulillah, KPU dan Bawaslu bisa selesaikan. Meski nggak sempurna,” katanya.
Afif juga menyentil soal desain penyelenggara pemilu, sistem pemilu, dan metode memilih yang terus berevolusi dari waktu ke waktu.
“Kita pernah nyontreng, sistem terbuka, tertutup. Semua tidak kami matikan, tapi dimodernisasi,” jelasnya.
Legislator dan KIPP Siap Revisi, Tapi Harus Komprehensif
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menegaskan DPR sudah mulai bergerak lewat FGD dan RDPU untuk menggodok revisi UU Pemilu dan Pilkada. Ada rencana besar untuk melakukan kodifikasi—menyatukan aturan yang tercecer di berbagai UU.
“Ini demi menutup celah hukum yang bikin multitafsir dan menimbulkan 56 gugatan ke MK hanya di 2024,” ujarnya.
Khozin juga mengingatkan, pemilu tak bisa dilihat parsial. Human error dan sistemik harus dimitigasi secara menyeluruh.
Sementara itu, Sekjen KIPP, Kaka Suminta, mewanti-wanti agar revisi UU Pemilu selesai maksimal pertengahan 2027. Ia juga menyoroti pentingnya penguatan kelembagaan, khususnya Bawaslu dan DKPP.
“Bawaslu perlu punya penyidik PNS sendiri. DKPP juga hanya perlu fokus pada etika penyelenggara, jangan overload,” jelasnya.
Jadi, Apa Selanjutnya?
Dari semua pernyataan itu, satu benang merah yang bisa ditarik: Pemilu Indonesia butuh nafas baru. Butuh sistem yang tidak multitafsir, tidak bikin lelah rakyat, dan tetap menjunjung tinggi demokrasi yang sehat.
Kalau kamu pemilih pemula atau mahasiswa politik, model mana yang menurutmu paling cocok buat pemilu Indonesia ke depan? Varian I, II, atau III?
(Anton)