SUARAIDONEWS.COM, Tangerang-Dibutuhkan kebijakan Karantina Wilayah melihat peningkatan kasus sudah mencapai ratusan per hari. Semestinya dalam kondisi penyebaran dan peningkatan kasus covid-19 yang terus meningkat hingga ratusan kasus per hari, sudah sewajarnya diterapkan kebijakan lebih lanjut yang signifikan dalam menekan kasus covid-19 dengan menetapkan karantina wilayah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam UU No. 6/2018, demikian ujar Siti Nur Rosifah, Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada diskusi hasil riset IDEASTalk bertajuk ‘Menahan Ledakan Covid-19, Menghadapi Pandemi’ yang dilaksanakan secara online melalui aplikasi Zoom, Senin (13/04/2020).
Dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan Karantina Wilayah masih lebih rendah dari biaya jika pandemi menjadi tak terkontrol. Semakin banyak waktu berlalu, dan wabah semakin menyebar, semakin mahal biaya karantina. Semakin cepat intervensi dilakukan di awal pandemi, semakin rendah biaya karantina.
Jadi dibutuhkan langkah-langkah ekstrem (karantina lokal) yang lebih ketat dan tegas untuk mencegah ledakan peningkatan kasus di berbagai daerah, terutama yang memiliki kepadatan dan mobilitas penduduk yang tinggi seperti di kota-kota metropolitan, lanjut Siti Nur Rosifah, dalam pemaparan penelitiannya.
Berdasarkan data yang dihimpun IDEAS, pada tahun 2019 dari total 15,4 juta pekerja di Jabodetabek terdapat 11,3 Juta yang bekerja di sektor formal dan 4 juta memiliki pekerjaan di sektor informal. Pekerja di sektor formal tersebut umumnya bisa tetap mendapatkan penghasilan tanpa harus hadir secara fisik setiap hari, papar Nur Rosifah.
Dan IDEAS berpendapat Jabodetabek yang menjadi episentrum Pandemi Covid-19 secara umum memiliki kesiapan ekonomi untuk menjalani Karantina Wilayah, sehingga dampak ekonomi dari karantina wilayah dapat diminimalkan. Selain itu, Jabodetabek memiliki persentase pekerja sektor formal tertinggi di Indonesia, sehingga penurunan pendapatan masyarakat secara drastis adalah rendah sepanjang tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Jabodetabek juga memiliki persentase paling tinggi untuk pekerja yang bekerja di sektor jasa, seperti jasa keuangan, perusahaan, pendidikan, hingga administrasi pemerintahan. Hal ini membuat skenario peliburan tempat kerja akan lebih mudah dilakukan.
Estimasi biaya kebutuhan pangan warga per hari selama Karantina Wilayah Jabodetabek dibutuhkan setidaknya Rp.1,3 triliun. Jika karantina dilakukan 2 pekan, maka dibutuhkan Rp.17,8 triliun untuk kebutuhan pangan 34 juta penduduk Jabodetabek. Tapi jika subsidi pangan berfokus pada penduduk miskin dan hampir miskin saja, maka biaya kebutuhan pangan untuk karantina 2 pekan hanya sebesar Rp.6,3 triliun.
“Dengan demikuan, semakin lambat karantina dilakukan, semakin panjang waktu yang dibutuhkan dan semakin besar biaya karantina,” tambah Fajri Azhari, yang juga peneliti IDEAS serta pemapar riset pada diskusi tersebut.
Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) selanjutnya mendorong pemerintah untuk segera mengubah kebijakan menghadapi covid-19 yang semula berbasis ‘Stabilitas dan Pemulihan Ekonomi’ menjadi berbasis ‘Penanggulangan Bencana’. Dengan berfokus pada menanggulangi bencana secepatnya, akan menciptakan landasan yang kokoh untuk pemulihan ekonomi di masa depan.
“Strategi pemerintah harus cepat dan tegas. Fokus utama adalah menangani pandemi. Semakin cepat kurva melandai, semakin cepat ekonomi pulih. Dengan mencegah eskalasi pandemi, sistem kesehatan memiliki waktu untuk memulihkan populasi yang terinfeksi. Mencegah eskalasi pandemi secara efektif akan mencegah krisis sosial dan ekonomi, biaya pemulihan ekonomi akan menurun drastis,” tegas Askar Muhammad lebih jauh, peneliti IDEAS lainnya.
Apalagi, Gubernur BI telah mengungkapkan bahwa menerapkan PSBB di DKI Jakarta efektif meningkatkan kepercayaan pasar. Hal ini menunjukkan bahwa menegasnya strategi pemerintah, dari lunak menjadi moderat, berdampak baik pada kepercayaan pasar, tutur Askar.
Terbukti, ketika respon kebijakan tidak cepat dan tegas, hal ini akan dibaca pelaku pasar sebagai ketidakmampuan pemerintah mengatasi pandemi. Pelaku pasar mulai menunjukkan ketidakpercayaan pada pemerintah sejak Februari 2020 ketika kukuh mengklaim Indonesia Bebas Covid-19.
Kecilnya proporsi anggaran intervensi kesehatan COVID-19 pun pada stimulus fiskal ke-3 APBN pasca Perppu 1/2020 hanya 13%, ini menunjukan keberpihakan pemerintah pada intervensi kesehatan dalam penanganan pandemi masih kurang. Jadi perlu ada kebijakan dengan paradigma ‘Penanggulangan Bencana’ yang memberikan porsi besar pada intervensi kesehatan, jelas Askar lagi.
Seperti diketahui, kenario penanganan yang dicanangkan pemerintah dengan paradigma ‘stabilitas dan pemulihan ekonomi’ berkisar Rp.405,1 Triliun. Namun disisi lain, stimulus sebesar Rp.405 Triliun di tengah pelemahan ekonomi ini, telah melonjakkan defisit anggaran pemerintah secara drastis melampaui batas atas defisit, 3% dari PDB. Stimulus ini dibiayai secara masif dari utang hingga menembus Rp 1.000 triliun.
Dan IDEAS membuat simulasi anggaran untuk menghadapi pandemi dengan paradigma ‘Penanggulangan Bencana’ yang lebih fokus kepada intervensi kesehatan dengan total Rp 295 Triliun (atau lebih rendah dari skenario pemerintah sebesar Rp.405 Triliun, red).
Sementara IDEAS dalam menghadapi Pandemi COVID 19 melakukan dengan pendekatan paradigma ‘Penanggulangan Bencana’ yang diestimasi dengan biaya berkisar Rp.295 Triliun (jauh lebih kecil, red). Dan anggaran ini lebih terfokus pada intervensi kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat di masa-masa PSBB. Defisit anggaran pemerintah dapat ditekan di kisaran 3 persen dari PDB. Hal ini akan menurunkan kebutuhan berutang secara drastis.
“Dari simulasi yang kami buat, defisit anggaran bisa ditekan dari 5,07% terhadap PDB menjadi kisaran 3%. Jika pemulihan berjalan lebih cepat, bukan tidak mungkin pemerintah tidak perlu melanggar batas defisit 3 persen dari PDB yang telah ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 12 UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tegas Askar.
Sebagai catatan, Pasal 4 Perpu No. 1 tahun 2020 menetapkan batasan defisit anggaran boleh melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022.
(tjo/ foto dok