SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump bikin banyak negara waspada, termasuk Indonesia. Tapi di tengah kekhawatiran itu, para tokoh di Senayan justru menyuarakan optimisme—bahkan diselipi sedikit candaan!
🏃 Misbakhun: “Indonesia Lagi Naik Kelas, Kayak Saya Batal Ikut Boston Marathon!”
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, membuka diskusi dengan gaya khasnya. Ia menyamakan kondisi Indonesia yang “naik kelas” dalam menghadapi tekanan ekonomi global, dengan pengalamannya sendiri batal ikut Boston Marathon gara-gara dipanggil Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia.
“Kita ini sedang naik kelas Pak, sama seperti saya sedang naik kelas karena batal ikut Boston Marathon. Nggak jadi, itu,” ujar Misbakhun sambil berkelakar.
Ia menegaskan, kebijakan tarif dari Trump bukan sesuatu yang harus ditakuti secara berlebihan.
“Apa yang ditakutkan dari yang disampaikan oleh Trump? Kita harus menanamkan kembali jiwa-jiwa patriotik kita bahwa bangsa kita ini adalah bangsa besar, bangsa yang sedang ditakuti,” tegasnya.
Menurutnya, Indonesia perlu percaya diri dan melihat tantangan sebagai kesempatan untuk tumbuh.
“Kita ini setiap hambatan, setiap tantangan yang ada pada kita itu adalah sarana kita untuk belajar dan menaikkan kelas dan kualitas pemikiran kita,” lanjutnya.
📈 Dradjad Wibowo: “Perdagangan Itu Politik, Jangan Terjebak Permainan Amerika”
Ekonom senior INDEF, Dradjad Wibowo, membawa diskusi ke level yang lebih strategis. Ia menekankan pentingnya langkah cermat dan penuh perhitungan.
“Sejak masa VOC, perdagangan tak pernah terlepas dari politik dan keamanan. Sama halnya dengan situasi sekarang, di mana perdagangan menjadi bagian dari perang tarif yang digagas oleh Presiden Trump,” jelasnya.
Menurut Dradjad, Indonesia harus punya strategi khusus. Salah satunya: coba alihkan impor dari negara lain ke AS agar bisa mengurangi defisit neraca dagang yang tembus 13-16 miliar dolar AS.
“Ini adalah langkah terbaik yang dapat kita tempuh untuk menghindari potensi pelemahan rupiah yang dapat berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik.”
Tapi, strategi jangka panjang juga diperlukan. Fokus utama? Tekan biaya produksi dalam negeri biar produk Indonesia tetap bisa bersaing di pasar global.
“Biaya produksi yang tinggi hanya akan membuat kita kesulitan bersaing. Salah satu caranya adalah dengan memangkas biaya-biaya terkait regulasi dan transportasi,” katanya.
Dradjad juga mengingatkan agar Indonesia tidak sembarangan mengiyakan tuntutan AS.
“Indonesia harus siap dengan strategi alternatif jika permintaan AS terlalu merugikan kita. Kita tidak bisa menerima semua tuntutan mereka begitu saja.”
🪑 Darmadi Durianto: “Lawan Balik? Kita Ini Kolam Kecil, Negosiasi Aja!”
Sementara itu, suara kehati-hatian datang dari Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto. Ia secara blak-blakan bilang kalau Indonesia tidak dalam posisi untuk membalas kebijakan tarif AS secara frontal.
“Kalau tarif ini jadi diterapkan, pukulannya akan sangat besar. Ada sekitar 3.840 produk Indonesia yang selama ini menikmati tarif 0% untuk masuk ke Amerika. Kalau itu hilang, kita pasti terpukul.”
Industri tekstil dan mebel bisa jadi korban pertama. Kedua sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja.
“Ekspor tekstil hampir 60% ke Amerika. Industri ini menyerap hampir 4 juta tenaga kerja. Kalau negosiasi gagal, PHK dan pengangguran bisa terjadi secara masif.”
Ia mengingatkan, Indonesia bukan Tiongkok yang bisa menekan balik AS.
“China berani karena mereka itu ‘samudra besar’. Kita ini masih kolam kecil. Jadi satu-satunya jalan adalah negosiasi yang efektif, bukan perlawanan terbuka.”
Darmadi juga menyoroti masalah internal: dari korupsi soal kuota impor sampai birokrasi perizinan yang lambat.
“Service level agreement pertek itu seharusnya lima hari, tapi faktanya bisa sampai dua bulan. Ini karena sistemnya sudah rusak.”
🎯 Kesimpulan: Jangan Takut, Tapi Juga Jangan Gegabah
Perang dagang bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal strategi, keberanian, dan perhitungan matang. Para tokoh ini mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh takut, tapi juga tidak boleh sembrono.
Dan ya, gaya Trump memang suka berubah-ubah.
“Gaya Trump itu seperti orang mabuk, kadang mau nego, kadang marah-marah. Tapi kita tidak boleh ikut mabuk. Kita harus tegas jaga kepentingan bangsa,” kata Darmadi menutup diskusi dengan nada serius tapi santai.
(Anton)