SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Banyak Masyarakat awam menyepelekan kulit kering dan menganggap hanya perlu dioleskan pelembab semata. Padahal, pemilihan obat oles yang tidak tepat bisa menimbulkan iritasi.
Pendapat ini disampaikan dokter Amelia Soebyanto, Sp.DV dari Klinik Pramudia, dalam sebuah diskusi virtual bersama media massa dengan tema kulit gatal (pruritus) dan kulit kering (xerosis), di Jakarta, Kamis (3/11-2022)
Menurut Amelia, tatalaksana kulit kering dibagi menjadi dua, yaitu medikamentosa dan non medikamentosa. Secara medikamentosa, dokter bisa memberikan obat minum untuk megurangi gatal dan peradangan yang timbul, antibiotik bila ditemukan adanya tanda-tanda infeksi, dan obat oles untuk mengatasi kekeringan pada kulit. Dokter pun akan merujuk ke spesialis tertentu jika memiliki penyakit penyerta.
“Penatalaksanaan secara non medikamentosa juga tidak kalah penting, di antaranya dengan memastikan asupan cairan yang cukup, tidak mandi terlalu lama dan terlalu sering, gunakan air hangat secara suam kuku dan memakai sabun lembut,” sarannya.
Kulit yang sangat kering dapat menyebabkan retakan atau pecahan yang dalam. Selain itu pula menjadi terbuka dan berdarah. Akibatnya, memberikan jalan bagi bakteri untuk masuk dan menyerang tubuh.
Amelia menambahkan, kulit kering juga merupakan penyebab utama terjadinya kulit gatal (pruritus). Maka, penggunaan obat-obatan yang dijual bebas justru berpotensi menimbulkan keluhan semakin parah dan berisiko infeksi akibat keinginan untuk menggaruk.
Dokters spesialis Dermatologi dan Venereologi ini, selanjutnya menjelaskan, bahwa kulit kering (xerosis) dapat terjadi pada wanita maupun pria, dan kelompok lanjut usia. Kulit kering merupakan suatu keadaan, ketika lapisan terluar kulit yang kurang lembab, akibat penurunan kandungan air dan lemak di kulit. Kulit kering ini memiliki tekstur kulit yang kasar, bersisik, pecah-pecah, dan dapat disertai dengan keluhan gatal.
“Pada pasien lanjut usia dengan keluhan kulit kering memang belum dapat sembuh total dengan cepat dan akan bertahan dalam waktu lama. Karena, banyak faktor yang berpengaruh, baik faktor genetik, internal maupun eksternal. Faktor internal misalnya, lapisan lemak yang berkurang pada kulit lansia, dan penyakit penyerta lain seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, penyakit hati, keganasan, infeksi, dan riwayat konsumsi obat-obatan tertentu,” urainya.
Menurutnya, faktor eksternal dari pengaruh lingkungan dan gaya hidup juga sangat berperan dalam timbulnya kulit kering, seperti stress, paparan sinar matahari yang lama, penggunaan sabun yang bersifat iritatif, dan asupan cairan yang kurang,” terangnya.
Sedangkan menurut dr. Anthony Handoko, Sp.KK, FINSDV, Kulit kering dan kulit gatal pada lansia memang sering diabaikan, karena dianggap sebagai hal wajar sehingga tidak perlu berkonsultasi dengan dokter.
Padahal, kulit kering dan kulit gatal menjadi awal penyakit yang lebih berbahaya, bahkan menjadi tanda bahwa seseorang memiliki penyakit tertentu.
Di klinik Pramudia, tempat dirinya mengabdi selalu berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh pasien, termasuk pasien lansia.
Senada dengan itu, dokter Yustin Sumito, Sp.KK, menambahkan bahwa kulit gatal terjadi di atas usia 65 tahun. “Dengan semakin besarnya populasi lansia di Indonesia, tentu risiko kulit gatal akan semakin besar,” tandasnya.
Terkait dengan faktor risiko, selain karena faktor usia, seseorang juga mengalami pruritus, jika memiliki alergi dan sebab penyakit lain, seperti eksim, psoriasis, dan diabetes mellitus. Bisa juga terjadi pada wanita yang sedang hamil dan mereka yang sedang menjalani dialisis.
Oleh sebab itu, lanjut dokter Yustin, diagnosa dan tatalaksana yang tepat sangat dibutuhkan untuk lansia yang mengalami kulit gatal.
Deteksi dini kulit gatal dilakukan melalui anamnesis (menanyakan riwayat pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara menyeluruh. Derajat keparahan gatal ada pada skala 1-10.
Menurutnya, bila derajat keparahan di atas 6, gatal dirasakan hingga pasien terbangun dari tidur, maka sudah terjadi gangguan kualitas hidup secara bermakna, sehingga tatalaksana agresif dibutuhkan. (Aji)