SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Drama revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terus bergulir, dan kali ini sorotan tajam datang dari Fraksi PKS. Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan tampil bak juru bicara lingkungan yang kecewa, namun tak lelah mengingatkan: jangan main-main dengan masa depan hutan Indonesia.
“Beberapa hal kami apresiasi, seperti mulai diakuinya hutan adat dan hak masyarakat adat. Ini memang sudah seharusnya, sesuai Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012,” ujar Johan usai rapat Panitia Kerja (Panja) revisi UU di kompleks parlemen, Selasa (07/05). Ya, akhirnya—meski agak telat—pengakuan itu muncul juga di draf RUU.
Tapi jangan buru-buru bertepuk tangan. Menurut Johan, masih banyak catatan merah menyala yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Salah satunya adalah soal batas minimal luas kawasan hutan.
“Ketentuan 30% per pulau atau DAS itu hilang entah ke mana. Padahal itu angka minimal yang jadi tameng ekologi kita—kalau itu dihapus, ya siap-siap saja banjir, kekeringan, sampai bencana ekologis lainnya,” tegasnya.
Tentu saja ini bukan cuma soal angka, tapi soal niat. PKS menilai pemerintah seperti setengah hati—katanya mau lindungi hutan, tapi aturannya malah makin longgar. Lebih parah lagi, mekanisme alih fungsi hutan disebut-sebut masih buram dan kurang transparan.
“Alih fungsi hutan tanpa pengawasan itu ibarat kasih kunci rumah ke maling. Pemerintah belum serius memperkuat perlindungan hutan, termasuk hutan mangrove dan kawasan karst yang rentan tapi vital,” sindir Johan, tajam tapi tetap diplomatis.
Lebih jauh, PKS meminta agar sistem perizinan kehutanan tidak hanya jadi ‘karpet merah’ bagi para pelaku usaha yang abai terhadap lingkungan.
“Revisi ini seharusnya jadi momentum menguatkan perlindungan ekologi, bukan malah membuka celah eksploitasi demi keuntungan jangka pendek,” kata Johan.
Dan penutupnya, tentu saja seperti episode klimaks sebuah sinetron parlemen:
“Kami akan terus mengawal revisi ini agar tetap berpihak pada kelestarian lingkungan, keadilan ekologis, dan keberlangsungan hidup masyarakat adat dan lokal.”
Apakah revisi UU Kehutanan ini akan benar-benar menyelamatkan hutan, atau justru jadi surat pelepasan kawasan hijau ke tangan-tangan licik berkedok pembangunan? Mari kita tunggu babak selanjutnya.
(Anton)