SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Media sosial kembali dihebohkan dengan video penampakan pagar bambu misterius di pesisir utara Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dalam video berdurasi 45 detik yang viral tersebut, terlihat ratusan batang bambu terpasang rapi di dua sudut wilayah Tarumajaya, membentuk pola panjang menyerupai tanggul dengan perairan di tengahnya.
Seorang nelayan lokal, Tayum, membenarkan keberadaan struktur ini.
“Iya, sudah enam bulan belakangan ini,” jelas Tayum saat dihubungi, (13/1/2025).
Ia menjelaskan, tanah di sela-sela bambu berasal dari proses pengerukan laut yang dilakukan dengan tiga ekskavator siang dan malam. Setelah itu, tanah tersebut diuruk ke dalam struktur bambu hingga membentuk semacam tanggul sepanjang 8 kilometer. Namun, hingga kini, fungsi struktur ini masih menjadi teka-teki bagi warga setempat.
Fenomena ini bukan cuma bikin warga bingung, tapi juga memicu kekhawatiran nelayan setempat. Samsul, Ketua Nelayan Muara Tawar, mengungkapkan dampak besar dari keberadaan pagar ini.
“Penumpukan lumpur di area itu bikin ekosistem rusak. Populasi ikan dan kerang hijau di sini menurun drastis. Nelayan di sini sedikit lagi mati,” tegas Samsul, Selasa (14/1/2025).
Bukan cuma itu, akses jalan nelayan juga makin sulit, yang akhirnya berdampak langsung pada pendapatan mereka yang terus merosot. Parahnya, Samsul juga menyoroti minimnya transparansi soal pembangunan ini. Dari tiga kali sosialisasi proyek, hanya dua yang dilakukan resmi, tanpa penjelasan lengkap terkait reklamasi atau restorasi.
Pagar laut ini sebenarnya bukan kasus pertama. Sebelumnya, fenomena serupa juga terjadi di Kabupaten Tangerang, Banten, dengan panjang mencapai 30,16 kilometer. Kemiripan desain antara dua lokasi ini memunculkan kecurigaan.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik, menilai bahwa pembangunan pagar bambu ini tidak mungkin dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.
“Struktur pagar sepanjang ini jelas butuh biaya besar, logistik terorganisir, dan perencanaan teknis matang. Ini enggak mungkin dikelola ormas kecil,” katanya (14/1/2025).
Achmad menambahkan, kesamaan desain antara pagar di Bekasi dan Tangerang mengindikasikan adanya aktor besar di balik proyek ini. Ia juga menuding Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lalai karena membiarkan proyek ini berlangsung sejak Agustus 2024 tanpa tindakan tegas.
“Pemagaran laut ini melanggar peraturan tentang pengelolaan wilayah pesisir. KKP lamban bertindak, sehingga memberi ruang bagi pihak-pihak tertentu untuk melanjutkan pembangunan skala masif,” kritik Achmad.
Meskipun ada klaim bahwa pagar ini dibuat sebagai upaya mitigasi tsunami dan abrasi, alasan ini diragukan oleh banyak pihak. Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) menyebut pagar ini adalah hasil swadaya masyarakat. Namun, banyak yang merasa sulit percaya, mengingat skala proyek dan biaya yang pasti besar.
Keberadaan pagar bambu ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apakah ini bagian dari reklamasi, restorasi, atau ada agenda lain di baliknya? Yang jelas, transparansi dan keterbukaan informasi sangat dibutuhkan untuk menjawab kekhawatiran masyarakat, khususnya nelayan yang kini merugi.
Fenomena pagar laut ini jadi pengingat bahwa pembangunan besar harus melibatkan komunikasi yang baik dengan masyarakat. Jangan sampai proyek seperti ini malah meminggirkan rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya dari laut.
(ANTON)