SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ekonomi global lagi panas! Negara-negara besar ketar-ketir menghadapi ancaman resesi. Tapi gimana dengan Indonesia? Apakah ekonomi kita masih kuat atau justru mulai goyah?
Perang Dagang dan Ancaman Resesi Global
Banyak negara sedang menghadapi risiko resesi akibat kebijakan perang tarif yang digencarkan Presiden AS Donald Trump. Tarif bea masuk semakin tinggi untuk negara-negara seperti Kanada, Meksiko, China, dan Uni Eropa. Bahkan mulai 2 April, Trump akan menerapkan tarif timbal balik ke semua mitra dagangnya, termasuk Korea Selatan. Dampaknya? Ketidakpastian ekonomi global makin parah!
Indonesia Masih Aman atau Mulai Goyah?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimis ekonomi Indonesia masih kuat. Menurut data Bloomberg per Februari 2025, probabilitas resesi Indonesia hanya di bawah 5%. Bandingkan dengan Meksiko (38%), Kanada (35%), dan AS (25%).
“Dengan fondasi ekonomi yang kuat, diversifikasi mitra dagang, dan hilirisasi industri, kita bisa tetap stabil di tengah gejolak ini,” kata Airlangga (24/3/2025).
Tapi tunggu dulu, ada satu fenomena yang bikin was-was: deflasi menjelang Ramadan dan Lebaran.
Deflasi di Tengah Ramadan: Sinyal Bahaya?
Biasanya, menjelang Ramadan dan Lebaran, konsumsi masyarakat meningkat, bikin inflasi naik. Tapi, Februari 2025 justru mencatat deflasi 0,09%. Ini pertama kali terjadi dalam 25 tahun terakhir!
Tak hanya itu, impor barang konsumsi anjlok. Per Februari 2025, total impor barang konsumsi hanya 1,47 miliar dolar AS, turun 10,61% dibanding Januari 2025 dan merosot 21,05% dibanding Februari 2024.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menganggap ini tanda daya beli masyarakat sedang melemah.
“Kalau impor turun, harga-harga ikut turun, artinya permintaan rendah. Itu konfirmasi daya beli masyarakat lagi seret,” jelas Bhima.
Senada, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menilai merosotnya impor barang konsumsi menjelang Ramadan adalah bukti daya beli masyarakat mulai ambruk.
“PHK besar-besaran bikin daya beli turun. Harga pangan naik, stok harus cukup, dan distribusi harus lancar,” tegasnya.
Pemerintah: “Deflasi Itu Direncanakan!”
Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah kalau deflasi terjadi karena daya beli melemah. Menurutnya, ini hasil kebijakan pemerintah menurunkan harga barang seperti tarif listrik, pajak tiket pesawat, dan tarif tol.
“Kalau deflasi karena harga yang diatur pemerintah turun, itu bukan krisis. Itu memang kebijakan,” kata Sri Mulyani.
Soal PHK di sektor tekstil dan alas kaki, ia justru melihat industri ini tumbuh positif. Industri tekstil tumbuh 4,3% di 2024, naik dari 2% di tahun sebelumnya. Bahkan, ekspor alas kaki RI tumbuh 17% awal 2025.
“Industri manufaktur kita masih naik, dari tekstil, elektronik, hingga makanan dan minuman,” tambahnya.
Para Ahli: “Situasi Ini Makin Parah”
Survei Economic Experts Survey dari LPEM FEB UI justru menunjukkan banyak ahli pesimis dengan ekonomi Indonesia. Dari 42 ahli, 23 orang (55%) bilang kondisi makin buruk dibanding tiga bulan lalu. Bahkan, tujuh ahli menganggap ini situasi yang jauh lebih buruk!
Namun, Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun tetap optimis. Ia yakin fundamental ekonomi RI masih kuat.
“Kami sudah berupaya memperkuat Bappenas, Kemenkeu, dan BI untuk menjaga stabilitas ekonomi. Kita bisa kejar target pertumbuhan 8%,” ujarnya di Capital Market Forum 2025 di BEI.
Ia juga mengingatkan, jangan sampai Indonesia kalah saing! Vietnam sudah tembus pertumbuhan 6%, menuju 7%, sedangkan Filipina juga makin melesat.
“Dulu zaman Soeharto kita konsisten tumbuh 7-8%. Indonesia butuh pertumbuhan dan lapangan kerja!” tegasnya.
Jadi, apakah Indonesia benar-benar masih aman? Atau ini hanya ketenangan sebelum badai besar menghantam? Waktulah yang akan menjawab!
(Anton)