SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Sebutan “cina” sempat diprotes sebab dianggap menghina para warga Indonesia etnis tertentu. Demi menghapus rasis dari bumi Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan resmi melarang sebutan “cina” untuk diganti menjadi Tionghoa.
Bahkan istilah “non-pribumi” juga dinon-gratakan sebagai rasis.
Kasus sosio-budaya-politik keberatan atas sebutan “cina” membuktikan bahwa pada hakikatnya tidak ada pihak yang membenarkan hinaan dengan sebutan beraroma rasis.
Sungguh memprihatinkan bahwa setelah istilah “cina” dilarang mendadak muncul sebuah kreasi sebutan beraroma rasis baru “kaldrun” sebagai akronim nama satwa jenis tertentu yaitu kadal gurun.
DIskriminatif
Pada hakikatnya istilah kaldrun inkonstitusional sebab melanggar undang-undang anti diskriminasi ras. Saya pribadi sebagai sahabat Presiden Jokowi sejak beliau masih Walikota Solo merasa kurang sreg terhadap sebutan kaldrun apalagi dikaitkan dengan keberpihakan kubu politik yang bahkan kemudian mengerucut ke siapa saja yang tidak setuju kebijakan pemerintah.
Mereka yang tega menghina sesama manusia warga Indonesia dengan sebutan satwa pada hakikatnya tidak lebih beradab ketimbang satwa yang tidak pernah melecehkan sesama satwa dengan sebutan manusia.
Maka saya merasa kurang sreg terhadap sebutan satwa terhadap manusia yang dihinakan kepada sesama warga Indonesia yang tidak pro pemerintah dan/atau diarahkan ke etnis tertentu. Meski wajar apabila pengguna sebutan kaldrun menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak berniat menghina warga etnis tertentu.
Harapan
Namun fakta sejarah telah nyata membuktikan bahwa disebut “cina” yang bukan sebutan satwa saja sudah banyak warga yang keberatan akibat merasa terhina.
Tidak sulit membayangkan bahwa pasti banyak merasa terhina apabila disebut dengan sebutan satwa seperti kadrun.
Meski anjing merupakan satwa teladan kesetiaan, namun sebaiknya jangan hina sesama manusia dengan sebutan anjing apalagi masih ditambah predikat geladak
Maka meski kadal gurun merupakan satwa paling mampu bertahan hidup di lingkungan paling tidak kondusif, namun sebaiknya jangan hina sesama warga Indonesia dengan sebutan kaldrun.
Apalagi sebutan beraroma kebencian dikaitkan dengan perbedaan paham politik di alam demokrasi mau pun diskriminasi latar belakang suku, ras dan agama.
Dapat diyakini bahwa menggunakan sebutan satwa bagi sesama warga Indonesia alih-alih mempersatukan bangsa sesuai sila Persatuan Indonesia malah potensial memecah-belah bangsa sesuai politik divide et empera sesuai kehendak bangsa penjajah demi lebih mudah menguasai bangsa yang dijajah.
Marilah kita bersatupadu demi maju tak gentar berjuang menghentikan angkara murka memecah-belah bangsa sendiri dengan menggunakan sebutan satwa terhadap sesama warga Indonesia.
Penulis adalah Jaya Suprana, Budayawan, Penggagas Rekor MURI, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan