SUARANDONEWS.COM, Jakarta-Direktorat Kesenian-Direktorat Jenderal Kebudayaan-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Galeri Nasional Indonesia menginisiasi sebuah program multi media art untuk memberi ruang yang luas bagi perkembangan multi media art di Indonesia. Dimana teknologi dalam dunia seni sudah semakin luas dipergunakan di dunia. Lantas bagaimana multi media art yang ada di Indonesia ? Lewat international media art festival dengan tajuk Instrumenta 2018 : Sandbox menjadi festival pertama bagi oase komunitas multi media art di seluruh Indonesia.
Demikian hal tersebut diungkapkan Tubagus Andre, Kasubdit Seni Media Direktorat Kesenian, yang didampingi Agung Hujatnikajennong selaku Direktur Artisitik serta artist Banung Grahita dari Bandung serta Raslene dari Jakarta, di Gedung Serbaguna Galeri Nasional Indonesia (11/11), Jakarta. Dimana festival pertama ini, menampilkan karya-karya 34 seniman: Ade Darmawan (Jakarta) | Adityo Pratomo (Jakarta) | Akihiko Taniguchi (Jepang) | Alan Kwan (Hong Kong – China / AS) | Alrezky Caesaria (Bandung) | Bagasworo Aryaningtyas (Jakarta) | Bandu Darmawan (Bandung) | Banung Grahita >< Rejeki Pagi (Bandung) | Bayu Pratama >< Kummara Game Studio (Bandung) | Divisi 62 >< Evans Storn >< Al Imran Karim (Jakarta & Bandung) | Evi Nila Dewi (Yogyakarta) | Hardiman Radjab (Jakarta) | Jess Johnson & Simon Ward (Selandia Baru / AS) | Julian Abraham Togar (Medan) | Mahesa Almeida & Niken Dayu (Jakarta) | Moch. Hasrul (Jakarta) | Kusno Drajat >< Rico Prasetyo (Jakarta & Bogor) | Mojiken Game Studio (Surabaya) | Ryota Kuwakubo (Jepang) | Sarana (Samarinda) | Torajiro Aida (Jepang) | Toyol Dolanan Nuklir (Surabaya) | Raslene (Jakarta) | Universe Baldoza (Filipina) | UVISUAL (Bandung) | Zaini Alif dan Komunitas Hong (Bandung).
Festival yang dikuratori Bob Edrian dan Gesyada Siregar ini, Instrumenta 2018: Sandbox, yang dipamerkan di Gedung B, C dan D di Galeri Nasional Indonesia, 11-30 November 2018, rencananya diadakan setiap tahun. Tidak hanya diikuti oleh seniman, tapi juga para game designer, musisi, fotografer, peneliti, dari Indonesia dan mancanegara. Mereka mengajak ‘bermain’ dengan 29 karya seni medianya yang menggunakan teknologi virtual reality, game digital, arcade game, internet, kecerdasan buatan (artificial intelligence), apps, foto, video, pemrograman komputer, robot, cahaya, sensor elektronik, perangkat kinetik, bebunyian, hingga permainan tradisional.
Sandbox (bak pasir) diadopsi dari genre permainan digital, yang merupakan metafora dari aktivitas bermain bebas dan terbuka, jelas Agung Hujatnikajennong, Direktur Artistik dari Instrumenta 2018: Sandbox.
Dan Instrumenta 2018: Sandbox merupakan bagian dari rangkaian program dukungan sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, mengatakan “Adalah tugas pemerintah untuk terus mendukung dan melindungi berbagai jenis ekspresi seni, tak terkecuali seni media”. Sementara bagi Dr. Restu Gunawan, M.Hum, selaku Direktur Kesenian, penyelenggaraan festival ini berangkat dari besarnya antusiasme para pelaku, penyelenggara, hingga masyarakat terhadap eksplorasi kesenian yang berbasis teknologi.
Bagi kurator Bob Edrian, bahwa gagasan “manusia bermain” dan dorongan untuk terlibat langsung serta memberi pengaruh pada dunia ataupun sistem aturan tertentu merupakan komponen-komponen utama yang melahirkan ragam jenis permainan, mulai dari permainan tradisional atau analog, arcade, video game atau game console, hingga game digital dan game online. Aspek bermain inilah merupakan jangkar dalam perkembangan media komputer, seni media, hingga kajian budaya digital.
Dalam perhelatan Instrumenta 2018: Sandbox, aspek ragam permainan atau gameplay menjadi salah satu kerangka kerja esensial. Karya-karya dalam festival ini menunjukkan bagaimana pengolahan cara kerja atau aturan main menjadi komponen penting dalam pengejawantahan gagasan seni media.
Seperti dalam game bertema horor DreadOut (2014) yang diproduksi game developer Bandung, Digital Happiness, aspek-aspek yang kental dengan keseharian masyarakat Indonesia (dalam hal ini: kepercayaan mistik terkait makhluk-makhluk gaib dan karakteristiknya), justru diekspos. Karakter utama dalam permainan ini juga mengenakan pakaian atau seragam SMA yang lumrah ditemukan dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Pendekatan serupa nampak pada game-game yang diproduksi oleh Mojiken Studio asal Surabaya seperti Banyu Lintar Angin (2017) dan Ultra Space Battle Brawl (2018). Mojiken memasukkan unsur-unsur keseharian di Indonesia yang kemudian dipadukan dengan nuansa visual khas Jepang yang pernah memiliki pengaruh besar dalam perkembangan budaya populer Indonesia sepanjang 1990-an hingga 2000-an.
Game lainnya yakni Rejeki Pagi karya Banun Grahita, yang mencoba menciptakan game edukatif yang berkaitan dengan sejumlah obyek lokasi maupun obyek lukisan du lingkungan Galeri Nasional Indonesia. Dengan lebih dahulu mendownload aplikasinya, siapapun bisa mencoba bermain game ini yang dikemas untuk waktu 15 menit. Sayang game edukatif bagi pengunjung Galeri Nasional Indonesia ini masih proyotype dan terbatas waktunya hanya 15 menit.
Game lainnya, bagaimana permainan / olahraga tradisional Gobak Sodor atau Galah Asin (Galasin) diadopsi oleh salah satu produsen telepon genggam CDMA pada kisaran tahun 2009, atau pada permainan yang mengangkat fenomena Tahu Bulat yang didistribusikan melalui media smartphone belakangan ini. Selain game jalan mundur yang diadopsi Raslene dari tayangan sinetron Anak Ajaib Joshua Suherman. Hal ini menunjukkan permainan merupakan bagian integral dalam perkembangan kebudayaan tertentu. Disamping proyek-proyek berbasis kolaborasi termasuk karya-karya Kummara Game Studio dan Bayu Pratama; Kusno Drajat dan Rico Prasetyo, serta; kolektif Sarana dan Uvisual.
Dalam kerangka kuratorial Instrumenta 2018: Sandbox, keterlibatan game designer dan game developer, yang seringkali diposisikan di luar pameran seni, justru memperkaya kemungkinan olahan cara dan aturan main/apresiasi dalam eksplorasi seni media berbasis interaksi, partisipasi, serta kolaborasi. Karya-karya interaktif, partisipatif, dan kolaboratif memang jamak muncul dalam banyak perhelatan ataupun pameran seni media, tambah Bob Edrian.
Lewat seminar Internasional Seni dan Permainan, Wicara Seniman, Lokakarya Keluarga Bermain, Lokakarya Desain Permainan, Lokakarya Seni dan Coding, dan Tur Kurator, yang menjadi bagian festival ini, elaborasi gagasan permainan dalam perhelatan Instrumenta 2018: Sandbox tentu tidak serta merta berhubungan dengan jenis seni interaktif semata atau tidak hanya menghadirkan karya-karya partisipatif, tetapi juga proyek-proyek berbasis kolaborasi.
Melalui gagasan Sandbox, festival Instrumenta berupaya menghadirkan ragam kekaryaan yang berjangkar pada pemahaman akan permainan. Hal tersebut diharapkan dapat memicu keterlibatan pengunjung yang tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi juga sebagai “pemain berkuasa” yang menentukan bagaimana perhelatan ini akhirnya dapat diapresiasi.
(Pung; foto ist