SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Berdasarkan penjelasan Tim Penasehat Hukum, Terdakwa Raden Uke Umar Rachmat SH,MKn, dari Kantor Hukum idcc & Associates, antara lain Ristan BP Simbolon SH; Erdiana, SH; Hendra Ruhendra SH, MM; Allen Gatan, SH; dan Ryanto Syahputra, SH menjelaskan bahwa Perkara Pidana – reg. No. 1362/Pid.B/2019/PN.Jkt.Utr. di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mohon BATAL DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya DINYATAKAN DIBATALkan (3/12).
Hal tersebut, dikemukakannya bahwa Terdakwa sebagaimana dalam Surat Dakwaan, didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, “telah melakukan tindakan yang melanggar tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Surat Dakwaan (No.Reg.Perkara: PDM-237/JKT-UT/11/2019) tertanggal 07 November 2019” yang pada pokoknya melanggar:
Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP; Subsidair Pasal 264 ayat (2) ke-1 KUHP atau Kedua, Primair Pasal 263 ayat (1) KUHP; Subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP.
Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP adalah sebagai berikut: Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: (1) Akta-akta otentik;
Pasal 264 ayat (2) KUHP adalah sebagai berikut: Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 263 KUHP ayat (1) : Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Ayat (2) : Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dan alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya Nota Keberatan dalam perkara pidana ini yakni ; Bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah disusun dengan secara tidak profesional (tidak bersesuaian dengan peraturan yang wajib dipatuhi oleh penyidik POLRI) sehingga menyebabkan cacat formiil berkas perkara penyidikan yang berakibat adanya dugaan terdapat unsur rekayasa kriminalisasi (titipan kasus) terhadap diri Terdakwa;
Bahwa Jaksa Penuntut Umum telah mendakwa Terdakwa hanya dengan pasal 264 KUHP dan Pasal 263 KUHP, yang notabene secara tegas, jelas dan murni merupakan pasal-pasal dari tindak pidana umum sebagaimana yang diatur dalam “BAB 12 – KUHP tentang “Pemalsuan Surat””.
Maka jelaslah secara profesional yang diberi kewenangan oleh Kapolri melalui pasal 139 ayat (1) – Peraturan KaPolri No.22/2010 untuk melakukan penyidikan untuk menyidik perkara dugaan tindak pidana umum adalah BUKAN DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS – Polda Metro Jaya; karena kewenangan melakukan penyidikan dari penyidik Dit.ResKrimSus Polda Mero Jaya hanyalah untuk tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu;
Dengan demikian, maka telah terjadi cacat formiil berupa pelanggaran kewenangan penyidik dalam perkara pidana a quo, karena sesungguhnya penyidik perkara pidana a quo TIDAK memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap pasal-pasal tindak pidana umum, karena hanya terbatas pada tindak pidana ekonomi, pidana korupsi dan tindak pidana tertentu;
Sehingga apabila lembaga-lembaga dimaksud melakukan penyidikan terhadap dugaan pelanggaran tindak pidana yang bukan merupakan kewenangannya, tentu saja mengandung cacat formill sehingga merupakan materi eksepsi, atau dengan kata lain: “penyidik dalam perkara pidana a quo adalah -diskualifikasi in persoon- ”
Dengan demikian, maka dapat timbul dugaan lain yakni, terhadap diri terdakwa telah dipaksakan untuk dapat dikriminalisasi dan perkara pidana a quo adalah titipan dari pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan
Seperti diketahui, pada tanggal 04 Februari 2013 bertempat di Kantor Terdakwa Raden Uke Umar Rachmat SH, MKn, jalan Waru No.15 Kelurahan Lagoa. Kecamatan Koja, Jakarta Utara (alamat baru sekarang sejak bulan Juli 2018 di JI. Bhayangkara No.1 Kel. Tugu Utara. Kec. Koja. Jakarta Utara) saksi TITI RAHAYU alias TITI mengetik/membuat Surat Pengikatan Jual beli No. 02 tanggal 04 Februari 2013 sesuai permintaan saksi H. Muhamad Sukiman dan Terdakwa Raden Uke Umar Rachmat SH, MKn, yang isinya palsu karena faktanya Ngadiman telah meninggal dunia pada tahun 2011 dan Hj. Nani Haeroni telah meninggal dunia pada tahun 2001.
Jadi jelas yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum, perbuatan dari terdakwa adalah: “menerbitkan akte otentik -vide- akte Pengikatan Jual-Beli tanggal 04 Februari 2013, dalam jabatannya sebagai Notaris, namun dengan isinya yang palsu, karena Ngadiman dan isterinya Hj. Nani Haeroni sesungguhnya telah meninggal dunia”,
Faktanya, Terdakwa tidak memalsu suatu akte otentik, namun menempatkan suatu keterangan palsu dalam akte otentik, sehingga seharusnya kalaupun memang benar -quod non- perbuatan tersebut terbuktinya nantinya merupakan perbuatan dari terdakwa, pasal yang seharusnya diterapkan adalah:
Pasal 266 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 266 ayat (2) KUHP
Dengan demikian, penerapan pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan kesatu primair) serta pasal 264 ayat (2) KUHP (dakwaan kesatu subsidair) adalah keliru, rancu, kabur dan atau obscuur libeels, karena TIDAK SESUAI dengan uraian perbuatan terdakwa sebagaimana yang tercantum dalam posita Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Sekaligus pula, penerapan pasal 263 KUHP adalah suatu perbuatan untuk memalsu surat biasa, bukan akte otentik, sehingga penerapan pasal-pasal dakwaan kedua primair / subsidair dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah keliru, rancu, kabur dan atau obscuur libeels.
Bahkan dalam uraian posita Surat Dakwaan disebutkan hanya terdapat terdakwa tunggal dalam perkara pidana a quo, yaitu Terdakwa dan atau setidaknya ternyata tidak disebutkan adanya “Terdakwa Lain” dalam berkas perkara terpisah (splitzing) dan seluruh pihak hanya disebutkan kedudukannya (legal standing) sebagai “Saksi” dalam perkara pidana a quo.
Padahal perbuatan terdakwa adalah dibantu oleh Saksi Titi Rahayu alias Titi; bahwa Saksi Titi Rahayu yang menerima uang dari Saksi Sukiman sebanyak 2x (dua kali) yakni Rp. 700 juta dan Rp. 300 juta; bahwa Perbuatan terdakwa adalah untuk kepentingan Saksi Sukiman atau bahkan seharusnya atas permintaan Saksi Sukiman; bahwa namun demikian, Ternyata Saksi Titi Rahayu alias Titi dan Saksi Sukiman hanya dinyatakan sebagai Saksi, dan dengan tanpa setidak-tidaknya dinyatakan sebagai terdakwa lain dalam berkas perkara terpisah (splitzing) sehingga jelas terdakwa dalam perkara pidana a quo hanyalah merupakan TERDAKWA TUNGGAL dan adalah sangat tidak masuk akal, dan sangat melawan hukum apabila benar demikian adanya.
Sedangkan uraian posita Surat Dakwaan pada dakwaan ke-1 dan ke-2 (primair / subsidair) tertulis bahwa: (kutipan)
“….. saksi Titi Rahayu alias Titi mengetik/membuat Surat Pengikatan Jual Beli No.02 tanggal 04 Februari 2013 …. dst”
PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli, perbedaan utama keduanya adalah pada sifat otentikasinya. Bahwa PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang dapat dilakukan di bawah tangan atau akta non-otentik, atau yang berarti:
“akta yang dibuat hanya oleh para pihak atau calon penjual dan pembeli”, tetapi tidak harus melibatkan notarsi/PPAT,
Oleh karena sifatnya DAPAT, maka dikategorikan non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tidak mengikat tanah sebagai obyek perjanjiannya, dan tentu, tidak menyebabkan beralihnya hak kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.
Bahwa pada umumnya, PPJB mengatur bagaimana penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli, namun demikian, hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu, misalnya, tanahnya masih dalam jaminan bank atau masih diperlukan syarat lain untuk dilakukannya penyerahan. Maka, dalam sebuah transaksi jual beli tanah, calon penjual dan pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berbeda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang WAJIB dibuat oleh PPAT atau Notaris PPAT dan merupakan syarat dalam jual beli tanah, dan dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka hak atas tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan atau balik nama dari penjual kepada pembeli.
Bahwa dalam PPJB biasanya diatur tentang syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB, sehingga dengan demikian, maka PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
Namun ternyata Jaksa Penuntut Umum telah mendalilkan akte tanggal 04 Februari 2013 adalah Surat Pengikatan Jual Beli, BUKAN Akta Jual-Beli, namun ternyata Akte tersebut meskipun berbentuk Akte, telah digunakan untuk proses BALIK NAMA dari alm. Ngadiman ke Saksi Sukiman. Dan meskipun berbentuk Akte, namun Pengikatan Jual Beli adalah TIDAK DAPAT DIGUNAKAN untuk proses Balik Nama.
Mendakwa Notaris (Terdakwa) sebagai pelaku pemalsu Akta yang diterbitkannya sendiri padahal dalam uraian posita Surat Dakwaan, perbuatan yang didalilkan Ternyata Tidak Terdapat Akte Asli. Tidak ada Akte Otentik (asli) yang kemudian dipalsukan dan atau TIDAK TERDAPAT uraian perbuatan terdakwa yang memalsu suatu akte otentik. Namun yang diuraikan adalah perbuatan terdakwa yang menerbitkan Akte yang berisi keterangan palsu.
Jaksa Penuntut Umum telah mendalilkan bahwa Ngadiman telah meninggal dunia pada tahun 2011 dan Hj. Nani Haeroni telah meninggal dunia pada tahun 2001, namun ternyata tidak dibunyikan adanya Akte Kematian baik atas nama Ngadiman maupun atas nama Hj. Nani Haeroni;
Jaksa Penuntut Umum juga TIDAK mencantumkan kata: “almarhumah Hj. Nani Haeroni” dalam uraian posita Surat Dakwaannya, sebagai penegasan bahwa benar keduanya adalah TELAH MENINGGAL DUNIA, sebagaimana selayaknya yang harus dicantumkan pada nama orang yang sudah meninggal dunia;
Jaksa Penuntut Umum juga mendalilkan bahwa Saksi Indra Hardimansyah dan Saksi Arwin Syah adalah Ahli Waris almarhum Ngadiman. Jaksa Penuntut Umum ternyata telah TIDAK membunyikan adanya Penetapan Waris dari Pengadilan Agama yang berwenang, sebagai alas hak dari Saksi Indra Hardimasyah dan Saksi Arwin Syah untuk dapat dinyatakan sebagai Ahli Waris almarhum Ngadiman;
Jaksa Penuntut Umum telah mendalilkan bahwa isteri almarhum Ngadiman yakni: Hj. Nani Haeroni apakah ibu kandung dari Saksi Indra Hardimasyah dan Saksi Arwin Syah? Apabila memang benar Hj. Nani Haeroni adalah ibu kandung dari Saksi Indra Hardimasyah dan Saksi Arwin Syah, maka seharusnya Saksi Indra Hardimasyah dan Saksi Arwin Syah juga dinyatakan sebagai Ahli Waris dari Hj. Nani Haeroni dan dibunyikan pula Penetapan Waris dari Pengadilan Agama yang berwenang sebagai alasnya.
(tjo; foto dok