SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Presiden Joko Widodo meneken aturan baru tentang pengurusan SIM dan STNK di Indonesia. Nantinya, peserta yang membuat dua dokumen tersebut harus sudah terdaftar secara resmi di program BPJS Kesehatan.
Kebijakan membuat SIM dan STNK harus terdaftar di BPJS Kesehatan tercantum dalam aturan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022. Dikutip dari situs Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (21/2/2022), inStruksi ini mengatur tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Dalam aturan yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022 dan mulai berlaku 1 Maret 2022 tersebut, ada instruksi khusus yang diberikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam perintahnya, Jokowi meminta agar para Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menyempurnakan beberapa regulasi.
“Melakukan penyempurnaan regulasi untuk memastikan pemohon Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian adalah Peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” tulis Presiden dalam instruksi tersebut.
Oleh karena itu, maka masyarakat yang kini membuat SIM dan STNK diwajibkan untuk membawa serta kartu BPJS Kesehatan sebagai syarat melakukan pendaftaran.
Tak hanya itu saja, Presiden juga meminta kepada para Kepala Polisi untuk meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang belum melaksanakan kepatuhan membayar iuran program JKN.
Artinya, para pemohon mulai sekarang diwajibkan untuk melakukan pembayaran rutin atas BPJS Kesehatan agar bisa mengurus SIM dan STNK.
Terkait adanya Inpres tersebut, Kasubdit STNK Korlantas Polri Kombes Pol Taslim Chairuddin mengatakan, sudah ada sosialisasi dari Kepolisian RI terkait Inpres Nomor 1 Tahun 2022. Untuk pelayanan STNK, Taslim menyebut saat ini memang belum diterapkan, tetapi proses untuk menuju pemberlakuan aturan tersebut sudah dimulai.
Menurut Taslim, aturan tersebut dalam penerapannya diperlukan setidaknya dua proses yang harus dijalankan, yaitu mengubah regulasi (Perpol Nomor 7 Tahun 2021 tentang Regident Ranmor) dan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak kaget. Jangan sampai masyarakat terbebani Pihaknya menjelaskan, aturan ini sebenarnya sudah ada pada 2015, tetapi dalam bentuk peraturan pemerintah, bukan inpres.
“Kami dari pengemban fungsi regident waktu itu ada kecenderungan minta ditunda dengan pertimbangan perlu sosialisasi dan minta pengelolaan BPJS diperbaiki terlebih dahulu,” kata Taslim.
Kepolisian menurutnya saat itu tak mau membuat masyarakat terbebani dengan kewajiban BPJS, tetapi di sisi lain pelayanannya belum maksimal. Kendati demikian, Taslim menegaskan pihaknya mendukung kebijakan pemerintah ini
Selain bertugas sebagai stabilisator dengan menjamin kemanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), Taslim menyebut Polri juga berperan sebagai dinamisator. Hal itu dengan mendorong komponen masyarakat untuk dinamis dalam menghasilkan produk-produk untuk dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
“Dukungan Polri dalam menjamin ketaatan memenuhi kewajiban BPJS bagi pemilik kendaraan bermotor (ranmor), adalah bagian dari sifat tugas sebagai dinamisator ini,” kata dia.
Koordinasi dengan Samsat Khusus untuk pelayanan STNK, Taslim menuturkan bahwa Polri tidak bisa memutuskan sendiri, karena berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak kendaraan dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWKDKLLJ).
Oleh karena itu, Polri harus berkoordinasi juga dengan Samsat agar tidak menimbulkan persoalan lain.
“Misalnya, bagaimana dengan kewajiban pembayaran pajak kendaraan, apakah akan diterapkan denda atau tidak ketika masa pajak sudah jatuh tempo, sementara STNK kita pending terkait kewajiban BPJS yang belum dipatuhi,” ungkapnya. (wwa)