SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Menjelang musim kemarau, kualitas udara di Jakarta kembali memburuk. Pada Kamis (29/5/2025), Ibu Kota tercatat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk ketiga di dunia. Berdasarkan data IQAir pukul 05.49 WIB, Air Quality Index (AQI) Jakarta berada di angka 154, yang dikategorikan tidak sehat, terutama bagi kelompok sensitif. Konsentrasi polutan PM2.5 pun tercatat mencapai 60 mikrogram per meter kubik.
Merespons hal ini, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mendesak pemerintah daerah bersama kementerian terkait segera mengambil langkah konkret agar lonjakan polusi udara seperti pada 2022 dan 2023 tidak kembali terulang.
“Belum masuk sepenuhnya musim kemarau dan juga di hari libur, tapi kualitas udara di Jakarta sudah masuk dalam tiga besar terburuk di dunia. Ini peringatan yang harus segera diantisipasi oleh pemerintah daerah dan kementerian terkait,” ujar Eddy dalam keterangannya, Sabtu (31/5/2025).
Menurut Eddy, polusi udara yang tinggi dapat berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat, terutama dalam meningkatkan risiko penyakit pernapasan seperti ISPA. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya langkah preventif baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Untuk jangka pendek, Eddy menyarankan edukasi dan imbauan kepada masyarakat agar lebih banyak menggunakan transportasi publik berbasis listrik, tidak membakar sampah, serta mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan.
Sementara untuk jangka panjang, ia mendorong penguatan dan perluasan transportasi umum ramah lingkungan. Electrifikasi transportasi publik, kata Eddy, harus ditingkatkan baik dari sisi jumlah armada maupun cakupan wilayah, terutama ke kawasan padat penduduk di sekitar Jakarta.
“Kita butuh elektrifikasi transportasi publik secara signifikan, agar masyarakat punya alternatif yang lebih bersih dan efisien,” katanya.
Eddy juga menyoroti pentingnya pengelolaan sampah melalui penerapan teknologi waste to energy (WTE) yang dapat mengubah sampah menjadi energi listrik. Ia menyebut, beberapa kota seperti Surabaya dan Solo sudah mulai mengadopsi teknologi ini melalui proyek pengelolaan sampah menjadi energi listrik (PSEL) di tempat pembuangan akhir (TPA).
“Teknologi WTE memberi dua manfaat sekaligus: mengurangi tumpukan sampah yang tidak tertampung di TPA dan memproduksi listrik berbasis energi terbarukan, yang bisa menghasilkan kredit karbon sebagai pendapatan tambahan,” jelas Anggota Komisi XII DPR RI itu.
Tak hanya itu, Eddy juga menyoroti peran kualitas bahan bakar minyak (BBM) dalam menyumbang polusi udara. Ia mendorong agar penggunaan BBM berkualitas rendah seperti Pertalite (RON 90) mulai dikurangi, dan beralih ke BBM beroktan lebih tinggi seperti Pertamax Turbo (RON 98) yang lebih ramah lingkungan.
“Pertalite masih digunakan mayoritas kendaraan bermotor dan itu menyumbang polusi besar. Kendaraan mewah atau dengan mesin besar seharusnya menggunakan BBM beroktan tinggi,” tegasnya.
Eddy pun berharap pemerintah dapat mendorong percepatan transisi energi bersih dan pengendalian emisi secara terintegrasi demi menciptakan kualitas udara yang lebih baik, serta menjamin kesehatan masyarakat secara berkelanjutan.
(Anton)