SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Kirab di lingkungan padat penduduk dengan menggelar repertoar seni rupa tak biasa dari 1.000 kostum nusantara, menjadi literatur dan wacana sejarah budaya bangsa yang ditularkan kepada para generasi milenial dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 Tahun ini (19/8).
Hal itulah yang dilakukan Heru Mulyadi, selaku penggiat budaya yang terus bertahan untuk melestarikan ragam budaya sejarah nusantara melalui keterlibatannya di dunia industri perfilman maupun televisi nasional maupun swasta Indonesia, lewat beragam kostum yang dimilikinya.
“Setidaknya ada seribuan kostum yang dikeluarkan dari Bengkel Gardu Seni untuk dipakai warga disini untuk merangkaikan perjalanan sejarah kebudayaan Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Dan representasi perjalanan sejarah kebudayaan Indonesia lewat kostum yang digunakan ini diantaranya kostum para Prajurit Keraton Yogyakarta, Tentara Jepang, Tentara Belanda, Tentara Rakyat, Noni Noni Belanda, kostum Adat dari Sabang sampai Merauke, hingga para pahlawan nasional, maupun ikon pahlawan di dunia komik seperti Si Buta Dari Gua Hantu dan Wiro Sableng,” jelas Heru Mulyadi.
Seperti diketahui Heru Mulyadi, merupakan pendiri bengkel kreatif Gardu Seni, yang selain Alumni Akademi Seni Drama & Film (Asdrafi) Yogyakarta jurusan penyutradaraan tahun 1982, namun juga alumni Fakultas Pendidikan & Pengembangan Ilmu Sosial dari Universitas Nusa Cendana Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1978.
Seniman kelahiran Yogyakarta, 29 Oktober 1958 ini, juga dikenal sebagai seniman yang mampu berdiri pada dua sisi; seni apresiasi dan seni pop. Heru mampu menyeimbangkan dua kepentingan berkesenian sekaligus. Yaitu, seni apresiasi yang lebih mengedepankan mutu, dan seni pop yang cenderung memenuhi komoditas pasar.
Karya Heru lainnya yang spektakuler, adalah pergelaran Seni Tradisi Tani Indonesia berjudul Do’a Anak Negeri, yang digelar di Sukoharjo, Jawa Tengah. Pementasan yang melibatkan 1.700 seniman ini masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).
Baginya karya artistik film dalam bentuk, set-properti, kostum dan lainnya, bukan sekedar produk pendukung visual sinema semata, melainkan dapat dijadikan literatur serta wacana sejarah budaya bangsa sebagai bagian daripada teks budaya maupun dokumen sosial bagi masyarakat.
“Lingkungan dan masyarakat adalah denyut nadi pemberi energi kehidupan yang tak dapat dipisahkan. Ia ingin karya-karyanya senantiasa bersentuhan langsung dan memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Dan seniman mengabdikan diri pada kemanusiaan, mencipta dengan perenungan serta dekat dengan realitas sosial,” ujar Heru disela sela kirab sejarah budaya nusantara ini.
Oleh karenanya, di tahun kemerdekaan Indonesia ke 73 Tahun ini, Heru ingin mendekatkan kembali kebudayaan yang berasal dari rakyat kepada rakyatnya sendiri. Yakni dalam kirab 1.000 kostum budaya nusantara di lingkungan padat penduduk RW 03 Kampung Makassar, Jakarta Timur. Dalam bagian yang tak terpisahkan dari “PARADE BUDAYA SEMANGAT 17 AGUSTUS” dan kirab BENTANGAN SANG SAKA MERAH PUTIH SEPANJANG 1.000 METER.
Kostum sejarah budaya nusantara Gardu Seni Heru Mulyadi, bukanlah hal yang baru karena sudah kerap tampil menghiasi di sejumlah film maupun televisi seperti pada film Kereta Api Terakhir, Roro Mendut, Jaka Sembung, Merebut Angan, Secangkir Kopi Pahit, atau sinetron Badai Pasti Berlalu, Sirkuit Kemelut, Borobudur, Ronggo Warsito, Lorong Waktu, Ali Topan, Zorro, Pedang Keadilan, Bende Mataram, Lucu Braja Sang Pendekar, Mahapatih Gajahmada dan karya film lainnya.
Sedangkan bagi aktris Yati Surachman yang turut terlibat dalam repertoar Seni Rupa ‘Kostum Sejarah Budaya Nusantara’ Tak Biasa Heru Mulyadi. Merasa tersanjung dan terhormat dapat turut melestarikan budaya lewat kirab kostum budaya nusantara ini. Oleh karenanya dirinya tak segan segan untuk sejenak mangkir dari shooting agar bisa menjelma menjadi noni noni Belanda dan turut berkirab bersama para milenialis.
Harapannya tentu, Repertoar Seni Rupa Tak Biasa lewat kostum kostum milik Heru Mullyadi terus menginspirasi generasi muda generasi milenial Indonesia. Terus menjadi energi untuk membangun kebudayaan Indonesia di tengah tengah pesatnya kebudayaan asing yang merangsek sendi kehidupan kita, meski harus dengan ide ide yang tidak biasa pastinya, ujar Yati menyemangati seraya menyudahi pembicaraannya.
Heru Mulyadi, seniman multi talenta; perupa film Indonesia. Penyandang gelar Juara Lomba Baca Puisi tak terkalahkan selama 11 tahun di kota kelahirannya Yogyakarta. Di acara Pameran Seni Rupa Film Indonesia — Dalam Rupa yang Tak Biasa di Jakarta, Minggu (19/08/2018), ia membacakan sajak sajaknya berjudul Bangkitlah! Pemuda Saudaraku!!!.
Revolusi adalah
getar-getar peluh dan nadi
menahan lapar kelam hari- hari
Revolusi adalah
kembang kristal air hujan
di jam kemarau yang kita habiskan
Revolusi adalah
bintang putih abadi
di langit dunia
riwayat anak-anak manusia
tujuh belas agustus
sembilan belas empat lima
Napak tilas para pahlawan bangsa
Berkibar dalam syair sang saka
Berkobar dalam puisi Indonesia
Untuk meraih cita-cita merdeka
Napak tilas anak bangsa
Bersatu dalam semangat jiwa
Bergema di jagat Nusantara
Untuk meraih prestasi dan karya
Merdeka…!!!
Kata yang penuh dengan makna
Bertahta dalam raga pejuang bangsa
Bermandikan darah dan air mata
wahai para pahlawan
Perjuangan kami lanjutkan!!!
Berderai kasih untuk pahlawan kami
Hanya jasamu yang bisa kami rasakan
Hanya jasamu yang bisa kami kenang
Demi darahmu…
Demi tulangmu…
Kami teruskan perjuangan
membangun negeri
Indonesiaku …
Di tengah orang-orang bermain sandiwara
Di tengah tokoh-tokoh bermain sandiwara
Di tengah masyarakat bemain sandiwara
Di sela-sela kehidupan
Di sela-sela keresahan
Di sela-sela kemiskinan
Di sela-sela kemunafikan
Di sela-sela ketidak adilan
Di sela-sela hidup kita
Maka sebelum terlambat!!!
Seperti di pagi ini…
Ketika kami membacakan sajak sajak
Bagi anak-anak muda di dunia
Sambutlah kawan rangkuman puisi ini
Suntingan dari taman nurani
Terimalah kawan rangkaian kata
Petikan dari piala hati
Inilah kawan dharma kami
Sembahan kelana
pencinta kawan
Sambutlah kawan
dengan gembira
Gempita suara angkasa
Wahyu kebangunan tanah tercinta
Bangkitlah pemuda
Dengarlah nyanyian gilang gemilang
Marilah kita berbimbingan tangan
Mengayun langkah pulang ke taman
Bersinar cahaya di ufuk timur
Tanda bangsaku bangun tidur
Pemuda bangsaku
Mari berbakti untuk negeri
Gunakan waktu selagi ada
Berbuat jasa semasa ada
Ombak berdesir lagunya merdu
Ditingkah kasidah alunan bayu
Bangkitlah! pemuda saudaraku!!!
(*Jakarta 9 Agustus 2018
(gha; foto tjo