SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Perlindungan jaminan kesehatan bagi insan pers menjadi perhatian serius DPR RI dalam rangka mewujudkan akses kesehatan yang inklusif dan adil. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Optimalisasi Perlindungan Jaminan Kesehatan bagi Insan Pers” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka menegaskan bahwa keberadaan media dan insan pers memiliki kontribusi besar dalam lahirnya Undang-Undang BPJS.
“Kalau tidak ada media, saya kira tidak mungkin kita bisa mengesahkan undang-undang BPJS,” ujar Rieke.
Rieke menuturkan bahwa perjuangan menghadirkan sistem jaminan sosial di Indonesia tidak lepas dari dukungan publik, termasuk insan pers dan organisasi pekerja. Ia mengingatkan bahwa UU BPJS merupakan amanat dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional 2004 yang mengatur jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian yang diselenggarakan negara.
Rieke juga menyoroti persoalan akurasi data peserta BPJS, termasuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung negara. Ia menyebut adanya data yang perlu diverifikasi kembali agar tidak membebani keuangan negara dan memastikan hak masyarakat terpenuhi.
Selain itu, Rieke menyinggung pentingnya perlindungan jaminan sosial bagi pekerja sektor digital dan media yang mengalami perubahan pola kerja akibat transformasi industri.
“Model proteksinya harus jelas. Baik pekerja media dalam hubungan kerja dengan perusahaan maupun pekerja media yang bekerja mandiri,” tegasnya.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edi Wuryanto, menekankan bahwa jaminan kesehatan adalah hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Karena itu, seluruh penduduk wajib menjadi peserta BPJS, termasuk jurnalis parlemen.
“Kalau ada wartawan parlemen yang tidak menjadi peserta BPJS, berarti ada kemungkinan mereka tidak mendapat akses layanan kesehatan. Ini ironi,” ujar Edi.
Edi menjelaskan bahwa Indonesia telah mencapai lebih dari 90 persen cakupan kepesertaan, namun terdapat tantangan terkait peserta nonaktif. Ia memperkirakan sekitar 20–30 persen peserta saat ini tidak aktif, sehingga tidak dapat mengakses layanan kesehatan.
Menurutnya, pemerintah dan DPR sedang mendorong langkah pemutihan tunggakan iuran bagi peserta yang mengalami kesulitan ekonomi, terutama akibat PHK, agar mereka tetap mendapatkan hak layanan kesehatan.
“Kalau peserta tidak mampu membayar iuran, maka tunggakannya perlu diputihkan agar mereka bisa aktif kembali. Ini bagian dari hak konstitusi,” jelasnya.
Edi juga menekankan perlunya pemerataan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia, terutama wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), serta peningkatan distribusi dokter spesialis.
Baik Rieke maupun Edi sepakat bahwa jurnalis dan pekerja media adalah bagian penting dalam kehidupan demokrasi dan harus mendapatkan perlindungan jaminan sosial, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan sesuai ketentuan undang-undang.
“Pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya dalam BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Wartawan termasuk di dalamnya,” tegas Edi.
Mereka juga menyoroti pekerja media independen dan freelancer agar tetap dijamin negara melalui skema peserta mandiri maupun bantuan iuran bila memenuhi syarat ketidakmampuan ekonomi.
Diskusi ini diharapkan memperkuat upaya negara memastikan jurnalis terlindungi, tidak kehilangan hak layanan kesehatan, dan tetap mampu menjalankan tugas profesionalnya sebagai pilar demokrasi.
Forum Dialektika Demokrasi ini mencerminkan komitmen DPR RI dalam meningkatkan perlindungan kesehatan insan pers sebagai bentuk penghargaan atas peran vital jurnalisme dalam menjaga demokrasi dan keterbukaan informasi publik.
(Anton)




















































