SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ngomongin soal kerja outsourcing atau sekarang istilah kerennya alih daya, sistem ini udah lama banget ada sejak terbitnya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dulu, sebelum UU itu ada, karyawan bisa dapat masa percobaan 3 bulan, terus diangkat jadi tetap. Sekarang? Jangan harap. Malah banyak yang kerja bertahun-tahun tapi statusnya nggak jelas.
Dalam UU 13/2003, sebenarnya outsourcing cuma boleh buat pekerjaan penunjang aja, kayak:
- Security
- Cleaning service
- Catering
- Driver
- Tambang
Tapi kenyataannya? Banyak perusahaan nge-outsourcing pekerjaan inti juga. Bahkan BUMN pun ikut-ikutan.
Masuk ke era Omnibus Law Cipta Kerja, makin kacau. Aturan mainnya makin longgar. Sekarang hampir semua jenis pekerjaan bisa di-outsource, dan kontraknya? Bisa seumur hidup! Gak ada lagi batasan 2x kontrak kayak di aturan sebelumnya.
Masalahnya, praktik di lapangan makin ngawur. Contohnya:
- Ada pekerja yang harus bayar 10-25 juta cuma biar bisa kerja di perusahaan outsourcing.
- Pejabat perusahaan induk merangkap jadi direktur di perusahaan outsourcing.
- Perusahaan outsourcing-nya dibikin sama manajer di perusahaan pemberi kerja.
- Oknum TNI, polisi, lurah, bahkan pimpinan serikat pekerja ikut punya bisnis outsourcing.
- Koperasi yang izin usahanya simpan pinjam malah nyambi jadi penyedia tenaga kerja.
Dampaknya? Buruh jadi korban. Parah!
- Gaji di bawah UMP
- Gak dapet BPJS
- Gak bisa berserikat
- Gampang banget di-PHK tanpa pesangon
- Gak ada pelatihan atau jenjang karier
- Gak ada perlindungan K3
- Gak ada perlindungan dari diskriminasi, pelecehan, jam kerja berlebihan
- Gak dapet THR atau bonus
- Gaji sering telat
- Kontrak gak transparan
Kalau udah kayak gini, pantas gak sih kalau disebut sebagai perbudakan modern?
Tapi di sisi lain, masih ada juga kok perusahaan outsourcing yang taat aturan. Mereka cuma ambil pekerjaan yang diizinkan, kayak cleaning service atau security, dan benar-benar memperhatikan hak-hak buruh: gaji layak, ada BPJS, bebas berserikat, dan ada pelatihan.
Sayangnya, perusahaan kayak gini masih minoritas.
Saatnya kita buka mata. Sistem kerja kayak gini harus dikawal ketat. Jangan sampai buruh terus-terusan jadi korban.
(Anton)