SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Program Sekolah Rakyat (SR) yang digagas Presiden Prabowo Subianto menuai pro-kontra. Di satu sisi, pemerintah menilai SR sebagai solusi untuk menjangkau anak-anak yang selama ini tertinggal dari sistem pendidikan formal. Namun, sejumlah kalangan masyarakat sipil justru menilai kebijakan ini penuh masalah sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaannya.
Kritik JPPI: “Hanya Menampung 0,33% Anak yang Tidak Sekolah”
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebut Sekolah Rakyat tidak menjawab akar persoalan pendidikan. Ia menekankan bahwa hingga Agustus 2025 masih ada 3,9 juta anak Indonesia usia sekolah yang tidak kebagian bangku pendidikan, dan 76% di antaranya karena faktor ekonomi.
“Dari 3,9 juta anak itu, sekitar 2 jutaan tidak bisa sekolah karena faktor ekonomi. Tapi Sekolah Rakyat yang digadang-gadang ini hanya mampu menampung 0,33% saja. Itu kecil sekali,” ujar Ubaid.
Menurutnya, konsep SR justru banyak ditolak oleh anak-anak sasaran.
“Dari hasil pendampingan anggota JPPI, sekitar 80% anak di desil 1 dan 2 menolak masuk Sekolah Rakyat. Bahkan yang sudah masuk banyak yang kabur, gurunya juga ada yang mundur,” tegasnya.
Ubaid menilai kebijakan ini justru terkesan dipaksakan dan minim partisipasi masyarakat sipil.
“Kami yang selama ini mendampingi anak-anak putus sekolah, anak jalanan, atau perempuan korban kekerasan, sama sekali tidak diajak bicara. Kok tiba-tiba muncul Sekolah Rakyat, bahkan ada guru dari TNI yang mengajar, padahal pedagogis itu bukan ranah mereka,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan adanya potensi stigma sosial terhadap lulusan SR.
“Kalau kuliah ditanya lulusan mana, jawabnya Sekolah Rakyat, bisa muncul diskriminasi. Ini bahaya, bisa jadi bentuk kekerasan sosial,” tambahnya.
Dukungan DNIKS: “Bagian dari Strategi Besar Pengentasan Kemiskinan”
Berbeda dengan JPPI, Ketua Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Agus Eko Cahyono, justru mendukung program tersebut.
“Sekolah Rakyat tidak hanya fokus pada pendidikan, tetapi juga terintegrasi dengan bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi, hingga jaminan kesehatan untuk siswa dan keluarganya,” kata Eko dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (11/9).
Ia menegaskan bahwa SR sejalan dengan strategi Presiden Prabowo untuk menurunkan angka kemiskinan di bawah lima persen.
“Sekolah Rakyat adalah bentuk keadilan sosial bagi keluarga yang belum terbawa dalam proses pembangunan,” ujarnya.
Isu Anggaran: Antara Prioritas dan Tata Kelola
Selain efektivitas SR, sorotan juga datang dari sisi anggaran. Menurut perhitungan JPPI, Rp100 triliun saja sudah cukup untuk memastikan seluruh anak Indonesia bisa sekolah gratis. Namun, dalam RAPBN 2026, justru ada alokasi Rp300 triliun untuk pos konsumtif seperti acara seremonial yang dinilai tidak menyentuh langsung kebutuhan pendidikan.
Di sisi lain, Eko sepakat dengan rekomendasi KPK agar tata kelola anggaran pendidikan lebih transparan.
“Temuan KPK menunjukkan sebagian besar dana pendidikan APBN lebih banyak mengalir ke sekolah kedinasan ketimbang ke PTN. Ini yang memicu kenaikan UKT dan potensi inefisiensi,” jelasnya.
Perbandingan dengan Negara Lain
Jika dibandingkan, beberapa negara Asia sudah menunjukkan model pendidikan inklusif yang lebih efisien:
- India: Menerapkan program Right to Education Act yang menjamin seluruh anak usia 6–14 tahun berhak sekolah gratis, termasuk di sekolah swasta dengan kuota 25% untuk anak miskin.
- Filipina: Menyediakan Alternative Learning System (ALS) yang memberi jalur fleksibel bagi anak putus sekolah untuk tetap bisa belajar dan mendapat ijazah setara formal.
- Vietnam: Fokus pada pendidikan berbasis komunitas dengan dana terdesentralisasi, sehingga sekolah rakyat versi mereka benar-benar lahir dari inisiatif masyarakat, bukan semata proyek pemerintah.
Kontroversi Sekolah Rakyat memperlihatkan tarik-menarik antara idealisme kebijakan dengan realitas di lapangan. Bagi sebagian pihak, SR adalah simbol keberpihakan negara terhadap kelompok rentan. Namun bagi kelompok masyarakat sipil, program ini masih dianggap “proyek politik” yang belum menyentuh akar masalah pendidikan: kesenjangan akses, kualitas guru, dan pembiayaan yang tepat sasaran.
(Anton)