SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Dunia saat ini tengah mengalami masalah yang tidak ringan. Setelah diserang pandemi Covid-19 yang kini berangsur membaik, dunia juga dikejutkan oleh perang Rusia–Ukraina.
Kondisi tersebut, tentu saja telah menciptakan tragedi kemanusiaan dan memperburuk perekonomian dunia. Mengingat, hal ini telah berdampak pada kenaikan harga pangan, energi, dan inflasi.
Kondisi tersebut semakin memperberat perekonomian sekaligus memperlambat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang.
Agenda kunjungan Presiden RI, Joko Widodo ke sejumlah negara, termasuk ke Ukraina dan Rusia, mendapat apresiasi dari dunia internasional. Di depan para pemimpin negara, Presiden Joko Widodo menyerukan penghentian perang.
Dalam hal sebagai manusia yang berhati nurani seharusnya kita memiliki pandangan yang sama dengan Presiden, bahwa perang di Ukraina atau dimanapun telah berdampak pada perekonomian di dunia.
Di zaman ini yang peradabannya lebih tinggi dibandingkan masa lalu seharusnya sudah tidak lagi ada perang dan lebih baik memfokuskan untuk pulih dari pandemi Covid-19. Sebab, di saat dunia membutuhkan kerja sama dan kolaborasi, justru rivalitas dan konfrontasi tampak makin menajam.
Saat dunia membutuhkan multilateralisme yang makin kokoh, justru unilateralisme yang makin mengemuka. Perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Setiap negara, setiap pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ‘enabling environment’ agar perang dapat dihentikan dan perdamaian dapat terwujud.
Kita ketahui bersama, saat ini kondisi pertumbuhan ekonomi dunia cukup memprihatinkan. Dana Moneter Internasional atau IMF menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi di “emerging and developing” Asia sebesar 0,5 persen pada 2022 dan 0,2 persen pada 2023.
Bank Dunia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi beberapa negara ASEAN hanya 1,2 persen.
Di sisi lain kenaikan 10 persen harga minyak dunia akan berdampak pada menurunnya pendapatan nasional beberapa negara ASEAN sebesar 0,7 persen dan kenaikan harga gandum juga akan mengakibatkan peningkatan kemiskinan sebesar 1 persen pada sebagian negara ASEAN.
Selama ini, ASEAN telah membangun arsitektur keamanan yang inklusif, mengedepankan paradigma kolaborasi, mendorong habit of dialogue dan rules based order. Spirit tersebut juga didorong agar bisa dilaksanakan di negara-negara Indo-Pasifik melalui ASEAN Outlook on the IndoPacific.
ASEAN perlu segera mengambil aksi nyata untuk memperkuat posisi sentralitas ASEAN melalui
berbagai inisiatif berbasis proyek dan merevitalisasi ASEAN sebagai basis produksi dalam penguatan
rantai pasok ekonomi di kawasan.
Sebab, rantai pasok di ASEAN akan sangat terganggu di masa mendatang apabila ASEAN tidak segera merespon berbagai perkembangan situasi ekonomi dunia yang terjadi dewasa ini.
Penguatan ekonomi, harus berasal dari dalam ASEAN. ASEAN memiliki berbagai inisiatif bersama yang perlu direvitalisasi seperti proyek pupuk Aceh ASEAN, proyek Urea ASEAN di Malaysia, proyek fabrikasi tembaga ASEAN di Filipina, proyek abu soda garam batu di Thailand, serta proyek vaksin ASEAN di Singapura.
Untuk itu, ASEAN perlu meningkatkan proyek-proyek serupa di masa mendatang sehingga dapat
memperkuat ketangguhan ASEAN terhadap berbagai agenda atau kebijakan negara lain yang dapat
mengganggu rantai pasok di kawasan.
Indonesia menargetkan untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah melalui pelipattigaan produk domestik bruto (GDP) per kapita dari USD 4,000 menjadi sekitar USD 12,500 pada periode 2038—2040. Dalam mencapai target ini, peningkatan investasi infrastruktur secara masif menjadi kunci utama Pemerintah Indonesia. Untuk menunjang pencapaian tersebut, Indonesia mendukung keterbukaan akses pasar perdagangan internasional.
Peningkatan investasi, diharapkan dapat mendukung tujuan besar Pemerintah Indonesia untuk
keluar dari status negara dengan pendapatan menengah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia secara umum. (*)
Penulis adalah: Pongki Nangolngolan. H (Pranata Humas Ahli Muda Kementerian Perdagangan RI)