SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Dua tragedi ledakan bom secara beruntun di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada Minggu (28/3/2021) dan di Mabes Polri Jakarta pada Rabu (31/3/2021) lalu, mengingatkan peristiwa terorisme di Selandia Baru pada 15 Maret tahun 2019 lalu.
Serangan teror warganegara Australia, Brenton Tarrant (28 tahun), mengakibatkan 51 orang Jamaah Sholat Juma’at di Masjid Al-Noor di wilayah Ricarton, Selandia Baru, meninggal dunia dan 40 orang mengalami cedera luka-luka setelah diberondong tembakan oleh Brenton.
“Jika berkaca pada pengalaman Selandia Baru, maka kunci dari penanggulangan terorisme adalah kecepatan dan ketepatan strategi, ” kata Mantan Kanit I Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kompol, Malvino Edward Yusticia melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (10/4/2021).
Malvino menjelaskam 24 jam pasca penembakan, Pemerintahan Selandia Baru melakukan reaksi cepat terhadap korban dengan merawat korban cidera, mengunjungi keluarga korban meninggal dunia, hingga mengunjungi dan membentuk rapat antar para pemuka agama di Selandia Baru.
“Dalam waktu 1 bulan, Pemerintah Selandia Baru mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan CTAP atau Counter Terrorism Action Plan. Dalam CTAP tersebut terdapat beberapa poin yang harus dilakukan oleh pemerintahan Selandia Baru dalam memerangi terorisme di negaranya, ” ujar Malvino yang kini menjadi salah satu Peserta Didik Sespimmen Polri Dikreg Ke- 61 TA 2021).
Ditegaskan Malvino, CTAP yang diimplementasikan oleh Selandia Baru mampu mendorong seluruh institusi sosial dan politik untuk saling terhubung dalam visi pencegahan dan penaggulangan terorisme.
“Ketepatan strategi dalam CTAP juga selalu dipastikan dalam bentuk pelibatan akademisi dan Universitas dalam memformulasikan, mengimplementasikan, hingga mengevaluasi program yang dilaksanakan, ” lanjut Alumnus Master of Strategic Studies Victoria University of Wellington, New Zealand tersebut.
Malvino berpendapat Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak terjadinya dua peristiwa teror pada Maret dan April lalu, seharusnya juga membentuk reaksi dan strategi tepat sehingga peristiwa yang sama tidak terjadi kembali di kemudian hari.
“Reaksi tersebut harusnya dapat dimulai dengan mengevaluasi seluruh program, kebijakan, dan strategi yang telah dilaksanakan dalam penanggulangan terorisme, ” ujarnya.
Dengan evaluasi tersebut, maka pembentukan strategi baru penanggulangan terorisme dapat diformulasikan kembali sehingga strategi nasional dalam penanggulangan terorisme dapat berlangsung lebih komprehensif, tepat sasaran, dan terintegrasi. “Hal itu juga sebagaimana CTAP yang diimplementasikan di Selandia Baru, saat ini telah berhasil membawa banyak perubahan, ” ujarnya.(Bams)