SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Surabaya, Program 3 juta rumah yang jadi andalan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menuai kritik dari pelaku usaha properti di Jawa Timur. Dalam sesi reses anggota DPD RI asal Jatim, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, para pengembang yang tergabung dalam REI Jatim menyampaikan sederet masalah yang mereka hadapi.
Mulai dari narasi rumah gratis, ketidakjelasan kuota subsidi, lambatnya pembayaran dari pemerintah, hingga persoalan status lahan—semuanya dinilai membuat pelaksanaan program ini jauh dari harapan.
“Sejak beliau dilantik dan mencetuskan program 3 juta rumah, banyak pernyataan beliau yang membuat teman-teman pengembang kesulitan. Utamanya soal rumah gratis.”
— Rizky Supriadi, Sekretaris DPD REI Jatim
Narasi Rumah Gratis: Membingungkan Pasar
Rizky menyoroti bahwa pernyataan soal “rumah gratis” menciptakan kebingungan di masyarakat. Banyak calon pembeli menunda pembelian karena berharap akan mendapatkan rumah tanpa membayar.
“Konsumen yang sudah kasih tanda jadi minta tunda karena dengar soal rumah gratis. Ini ganggu cash flow kami.”
Padahal, dalam skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), pemerintah hanya menyubsidi bunga KPR dan uang muka 1%, bukan memberikan rumah secara cuma-cuma.
Kuota Tak Jelas, Bank Ogah Ikut
Masalah lain datang dari sistem kuota FLPP yang tidak transparan. Banyak pengembang mengaku tidak tahu kapan kuota tersedia. Bahkan, pembayaran selisih bunga ke bank pun sering terlambat, membuat sejumlah bank pemerintah (Himbara) enggan terlibat.
“Kuotanya cepat habis, dan reimbursement lambat. Bank jadi malas menyalurkan KPR FLPP.”
— Rizky Supriadi
Wakil Ketua Bidang Infrastruktur REI Jatim, Azwar Hamidi, menambahkan bahwa keterlambatan pengumuman kuota memukul jadwal pembangunan. Biasanya rumah subsidi mulai dibangun awal tahun, tapi karena kuota baru keluar bulan April-Mei, proyek jadi mundur.
“Klaim Kementerian PUPR soal 600.000 unit per tahun juga tidak realistis. Setelah dicek, dananya cuma cukup untuk 350.000 unit.”
— Azwar Hamidi
Siapa Sebenarnya yang Bisa Beli?
Masalah daya beli juga jadi perhatian. Meski ada usulan menyediakan rumah untuk buruh atau wartawan, REI meragukan kemampuan mereka untuk mengakses KPR.
“Mereka tersebar di kawasan industri, tapi belum tentu lolos BI checking. Banyak juga terjerat pinjol.”
— Azwar Hamidi
Lebih jauh, pembatasan kuota berdasarkan profesi juga dianggap berisiko. Wakil Sekretaris Bidang Perpajakan REI Jatim, Iqbal Randy, menilai segmentasi terlalu sempit justru menyulitkan penyerapan kuota.
“Kalau dikelompokkan terlalu spesifik, bisa tidak terserap. Lebih baik dibuka akses untuk pekerja nonformal secara umum.”
Lahan: Semakin Jauh, Semakin Mahal
REI Jatim juga menghadapi tantangan dalam mencari lahan. Banyak area di pinggiran kota kini masuk zona hijau karena mendukung ketahanan pangan nasional, membuat pengembang terpaksa mencari lahan yang lebih jauh dan mahal.
“Program ketahanan pangan justru bentrok dengan kebutuhan lahan rumah subsidi.”
Iqbal juga menyoroti anjuran pemerintah untuk menggunakan tanah sitaan, seperti dari kasus BLBI. Menurutnya, hal ini sangat berisiko secara hukum.
“Kita bangun sesuai aturan, tapi status tanah bermasalah. Bisa-bisa dipersoalkan KPK di kemudian hari.”
Tanpa Juknis, Pengembang Bingung
Hingga kini, REI mengaku belum mendapat petunjuk teknis yang jelas terkait program 3 juta rumah. Mereka kebingungan soal peran yang bisa diambil dan bagian mana yang jadi tanggung jawab pengembang.
“Jujur, kami belum tahu harus bagaimana. Tidak ada juknis, tidak tahu kebagian apa, atau harus urun bagaimana.”
— Iqbal Randy
Pesan untuk Pemerintah
Melalui DPD RI, para pengembang berharap aspirasi mereka bisa disampaikan langsung ke pusat. Mereka tidak ingin program rumah murah ini hanya jadi janji politik, tapi benar-benar dijalankan dengan rencana teknis, anggaran, dan regulasi yang jelas.
Jika kamu tertarik dengan isu perumahan rakyat atau ingin tahu lebih banyak soal program 3 juta rumah, yuk diskusi! Pemerintah dan pengembang butuh masukan dari generasi muda juga 🏠✨
(Anton)