SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ketika bangsa ini berada di ujung tanduk, rupiah terpuruk hingga Rp16.800 per dolar AS, dan kepercayaan dunia terhadap Indonesia runtuh, Bacharuddin Jusuf Habibie melangkah maju. Di tengah badai krisis ekonomi dan kekacauan politik pasca-reformasi 1998, pria yang dikenal sebagai Bapak Teknologi Indonesia ini membuktikan bahwa keajaiban bisa diciptakan dengan kecerdasan, keberanian, dan cinta tanah air.
Dalam waktu kurang dari dua tahun, Habibie membawa rupiah kembali ke angka Rp6.550 per dolar AS, sebuah pencapaian monumental yang menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Berikut adalah kisah perjuangan Habibie yang tak hanya melawan angka, tetapi juga memulihkan martabat bangsa.
Krisis 1998: Neraka Bagi Indonesia
Tahun 1998 adalah masa paling kelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Krisis moneter Asia menghancurkan stabilitas ekonomi nasional. Harga-harga melambung tinggi, ribuan perusahaan bangkrut, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Rupiah terjun bebas dari Rp2.500 menjadi Rp16.800 per dolar AS hanya dalam hitungan bulan.
Sementara itu, demonstrasi besar-besaran memaksa Presiden Soeharto mundur setelah 32 tahun berkuasa. Indonesia terjebak dalam ketidakstabilan politik dan ekonomi. Dalam kondisi yang hampir mustahil, Habibie, yang kala itu adalah Wakil Presiden, mengambil alih tampuk kepemimpinan pada Mei 1998.
Strategi Keajaiban Habibie: Bangkit dari Abu Krisis
1. Menyelamatkan Bank-Bank yang Hampir Kolaps
Habibie sadar, stabilitas sektor perbankan adalah kunci untuk memulihkan ekonomi. Ia mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menyelamatkan bank-bank yang layak dan menutup bank yang bermasalah. Langkah tegas ini mengembalikan kepercayaan investor terhadap sistem keuangan Indonesia.
2. Mengendalikan Inflasi dan Menstabilkan Moneter
Habibie bekerja bahu-membahu dengan Bank Indonesia. Kebijakan moneter ketat diterapkan: suku bunga dinaikkan untuk menekan spekulasi terhadap rupiah. Bantuan internasional dari IMF digunakan secara strategis untuk memperkuat cadangan devisa.
3. Menghidupkan Ekspor dan Devisa
Dalam keterpurukan rupiah, Habibie melihat peluang. Produk ekspor Indonesia menjadi lebih murah di pasar internasional. Ia mendorong sektor industri untuk meningkatkan ekspor dan mendatangkan devisa yang sangat dibutuhkan.
4. Transparansi dan Reformasi Politik
Habibie memahami bahwa pemulihan ekonomi tidak akan terjadi tanpa stabilitas politik. Ia mencabut berbagai kebijakan represif era Orde Baru, membuka ruang kebebasan pers, dan mempercepat reformasi demokrasi. Langkah-langkah ini membangun kepercayaan investor bahwa Indonesia siap berubah.
5. Kepemimpinan yang Menginspirasi
Habibie tidak hanya bertindak sebagai presiden, tetapi juga sebagai motivator bangsa. Dalam berbagai kesempatan, ia berbicara dengan penuh keyakinan bahwa Indonesia akan bangkit. Sikap optimis ini menular, baik di dalam negeri maupun di mata dunia internasional.
Hasilnya: Keajaiban Ekonomi yang Tak Terlupakan
Dalam waktu singkat, rupiah yang sebelumnya terpuruk di angka Rp16.800 berhasil dikuatkan hingga menyentuh Rp6.550 per dolar AS. Stabilitas moneter ini membawa angin segar bagi perekonomian nasional. Perlahan tapi pasti, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia pulih, dan ekonomi kembali tumbuh.
Lebih dari Sekadar Angka: Warisan Habibie untuk Bangsa
Keberhasilan Habibie menguatkan rupiah bukan hanya tentang stabilitas ekonomi, tetapi juga tentang menyelamatkan martabat bangsa yang hampir kehilangan arah. Ia membuktikan bahwa di tengah kesulitan yang luar biasa, kepemimpinan yang cerdas dan berani dapat membawa perubahan besar.
Habibie tidak hanya dikenang sebagai presiden yang memulihkan ekonomi, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan dan harapan. Ia meninggalkan warisan berupa kepercayaan diri bahwa Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan, betapapun beratnya tantangan.
“Habibie telah membuktikan, ketika sebuah bangsa hampir runtuh, seorang pemimpin yang visioner dapat menjadi juru selamat yang mengembalikan harapan. Dalam sejarah Indonesia, keajaiban Habibie akan terus dikenang.”
(Anton)