SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Kebudayaan di nusantara ini merupakan budaya yang terus-menerus hidup dalam proses saling negosiasi di antara beragam pengaruh yang ada. Dalam proses tawar-menawar dan berlangsung ribuan tahun itu terdapat jejak yang masih dilacak untuk mencari garis evolusinya. Cakupan kebudayaan di Asia Tenggara im merentang sebelum masehi hingga kini.
Di sinilah posisi Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) untuk menelisik kembali dan membincangkan kembali peradaban di nusantara. Dalam BWCF segala topik mengenai nusantara menjadi penting dan berguna dalam menyusun lanskap peradaban nusantara. Pada titik ini diharapkan menimbulkan kebanggaan, penghormatan, pemeliharaan, dan pemanfaatan bagi kehidupan yang leblh balk bagi kebudayaan di nusantara.
Perhelatan kebudayaan yang dilakukan berturut-turut ini dimaksudkan semata untuk meningkatkan marwah kebudayaan nusantara. Dan tahun ini memasuki tahun ke-6nya, diselenggarakan selama tiga hari 23-25 November 2017 di Yogyakarta dan Magelang.
BWCF 2017 bertemakan Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara, sebagai bagian dari sebuah tema besarnya “Keberagaman dalam hal Berkeyakinan”. Hal tersebut berpijak dari hadirnya Gandawyuha sebuah relief sebanyak 460 panel di lorong 2, 3, dan 4 Candi Borobudur, yang mengkisahkan Sudhana yang bermetamorfosis lelaku untuk menggapai pencerahan tertinggi dalam KeBudhaan. Dimana Sudhana berguru kepada banyak guru, baik dari kalangan Bhikku, orang-orang biasa, dan bahkan dari seorang PSK sekali pun.
Sebuah sesi proses pencarian untuk mencapai pencerahan tertinggi jauh sebelum adanya Indonesia, jauh sebelum ditetapkannya agama dalam peta perpolitikan sehingga kita lalu mudah sekali terpecah-pecah, jauh sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan hadirnya golongan kepercayaan dalam republik ini, jelas Romo Mudji Sutrisno.
Jadi Gandawyuha sebuah gambaran penuh, bagaimana Indonesia di abad ke-8 telah menyadari dan menetapkan Keberagaman dalam Berkeyakinan menjadi oase kesepahaman untuk saling menghargai dan menghormati antar sesama demi terwujudnya sebuah pencapaian peradaban bangsa yang luhur. Dan Indonesia saat itu sudah berhasil mencapainya, tambah Romo Mudji.
Selain Gandawyuha, sesi lain yang turut dikupas yakni “Dari Katholik, Konghucu, Budha hingga Islam Nusantara” membahas dialog dalam tataran teologi dari agama Katholik, Buddha, Islam Nusantara dan Konghucu. Dalam sesi ini agama selalu membangun dialog dengan konteks budaya, dengan keyakinan lain, dalam rangka mencari kebenaran. Dalam pencarian itu tersirat kuat adanya keberagaman.
Dilanjutkan sesi “Pengalaman Ketuhanan Penghayat dan Religi Nusantara” membahas adanya agama-agama yang ada di nusantara. Agama yang tumbuh secara lokal, tetapi juga meluas secara mondial, seperti Parmalim, Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharing, Sumarah dan sebagainya.
BWCF merupakan upaya mengangkat khazanah pengetahuan dan peradaban nusantara yang akan dihadiri para budayawan, akademisi di dalam maupun luar negeri, peneliti, jumalis, penulis, novelis, penyair, seniman, musisi, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Mereka saling bertukar pemikiran, bertukar karya buku, dan saling memperkukuh persahabatan di antara sesama. Disamping adanya pentas kolaborasi tari-rupa-musik, musik, pembacaan puisi, meditasi pagi, pemutaran film, pameran foto, pesta buku, dan pemberian penghargaan.
Perhelatan diawali di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, berlanjut di Hotel Manohara, lalu pentas seni di Taman Aksobya, Lapangan Kenari di Kompleks Candi Borobudur, Magelang, kemudian diakhiri di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta.
(tjo; foto a yen