SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Manusia di zaman ini tak punya kedamaian
Hatinya gersang – disebabkan kesombongan
Dia menuntut dengan heboh,
meminta kecepatan, terus menerus berlari
namun tak pernah meraih sebentuk arti
Dan pada akhirnya,
Sekarang saatnya kita mesti datang
mencarl demi keheningan yang sakral
Yang tegak senantiasa dl tengah abad-abad bergerak bising
Sampal dla merasa yakln bahwa di dalam cinta yang tak terukur
Bersemayam arti penghabisan darl kemerdekaan
Yang doanya adalah:
”Biarkan Buddha menjadl pellndungku”
(Batavia, 23 September 1927, sebagaimana diterjemahkan buku : Indonesia di Mata India; Kala Tagore Melawat ke Nusantara)
Sejarah sosial nusantara, adalah sejarah yang penuh migrasi. Dimana para penduduk nusantara sebagian besar adalah turunan dari migrasi besar-besaran out of Taiwan yang membawa kultur Astronesia. Bahkan jauh sebelumnya Homo Erectus di Jawa seperti Pithecantropus Erectus atau Homo Soloensis, makhluk yang menjadi ujung terakhir pengembaraan manusia setengah kera yang keluar dari Afrika.
Hingga hadirnya Bhumisambhara, yang memiliki peran penting dari suntingan Sutra Sutra yang dipahatkan di Borobudur, yang menunjukkan bagaimana agama, adat istiadat dan budaya lokal saling mendukung dan ikut dalam pembentukan masyarakat dan kebudayaan bangsa. Lewat Karmawibhangga, Jataka dan Awadana, Lalitawistara – Kiprah Pelengkap, Gandawyuha Sutra serta Bhadracarya Pranidhana.
Borobudur sebagai bentuk konkrit untuk membumikan dharma ajaran Buddha, sebagai sumber pembelajaran pemikiran ajaran untuk dicermati, dikaji, diserap dan dihayati sebagai petunjuk dan pegangan yang bisa diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari, jelas Salim Lee (Ahli Buddhis, Peneliti Relief Borobudur).
Sekaligus sebagai sarana untuk mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan dengan mengedepankan dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat tentang kegunaan dan pentingnya memiliki etika dan akhlak yang jujur, yang menjauhi keirian hati dan keserakahan, yang tidak merugikan yang lain, yang sabar dan toleran, yang saling menghargai. Kehidupan tanpa kekerasan, keberadaan yang selalu berguna buat sesama.
Dan Borobudur menunjukkan salah satu cara untuk bermasyarakat yang intelijen, rukun, tertib dengan melakukan internalisasi nilai dan moral agama berdasarkan pemahaman dan pengertian ajaran. Menggunakan spiritualitas sebagai dasar kehidupan sebagai manusia yang santun, pemurah, yang bersifat membangun dalam bermasyarakat dan berbudaya, ungkap Salim Lee.
Sementara disisi lain, begitu banyak catatan mengenai nusantara yang ditulis para pengelana asing. Sebut saja I Tsing atau Yi Jing (635-713) dalam khazanah Budhis Cina dikenal sebagai pengembara religius yang berani melakukan perjalanan penuh tantangan dari Cina ke India untuk mendapat bahan-bahan teks keagamaan Budhis setelah sebelumnya dilakukan oleh rahib Fa Xian (337-422 M) dan Xuan Zang (602-644) ; Ibnu Batuta; Alfred Russel Walace (yang tahun depan merupakan peringatan 150 tahun lahirnya buku The Malay Archipelago yang sangat mempengaruhi Charles Darwin untuk merumuskan Teori Evolusinya, terutama saat merumuskan konsep asal usul species dan survival of the fittest); Cheng Ho atau Zheng He (1403-1433 M) dengan 400 kapal yang mengiringinya menjelajahi Jawa, Asia Tengah dan Afrika. Sebagai tonggak peradaban Cina yang maju, tonggak konsolidasi para migran Cina dan tonggak penyebaran islam di kawasan nusantara – Asia Tenggara; George Eberhard Rumphius (wafat di Ambon tahun 1702), ahli botani Jerman yang menghasilkan ensiklopedi raksasa: Herbairum Amboinense; Rabindranath Tagore; Dr.Tan Ta Sen; sampai penulis asal Trinidad, Karibia keturunan India-Nepal, pemenang nobel sastra 2001, V.S Naipaul, yang periode 80-an pernah menyusuri Jawa dan menghasilkan karya menarik: Among The Believers.
The 7th Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF), 22 – 25 November, Yogya – Magelang, yang mengambil tema: Traveling & Diary sebagai Catatan Harian para Pejalan, Peziarah, Pelawat India, Muslim sampai Eropa ke nusantara. Tidak saja menyimpan energi mereka untuk melihat Nusantara, namun juga harus mampu melihat Dari Nusantara bagaimana Mata para pejalan, peziarah, pelawat India, Muslim sampai Eropa itu, pesan Salim Lee (Ahli Buddhis, Peneliti Relief Borobudur).
Sebagai sebuah forum yang bertujuan untuk merawat khazanah literasi klasik nusantara secara populer, BWCF menghadirkan tema-tema yang jarang dibedah. Sekaligus berharap para mahasiswa, pendidik, guru-guru, peneliti, sastrawan, aktivis kebudayaan menghadiri BWCF dan kemudian terangsang melahirkan karya-karya kreatif, setelah mendengar ceramah para pakar, harap Seno Joko Suyono, yang didampingi Imam Muhtarom (Pendiri & Kurator BWCF) di Galeri Cemara, Menteng, Jakarta Pusat.
BWCF Traveling & Diary, memulai dengan mengulas catatan harian l Tsing, lanjutnya, selain menghadirkan 4 sastrawan dari program residensi Komite Buku Nasional seperti Martin Aleida, Agustinus Wibowo, Cok Sawitri dan Faisal Oddang untuk berbagi cerita, sharing pengalaman mereka selama melakukan riset di Eropa atau Amerika.
BWCF menghadirkan pula Workshop Dongeng Anak yang bekerjasama dengan Dr Murti Bunanta, penulis buku anak dan praktisi dongeng anak. Disamping Festival Film kecil-kecilan di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang sebagai sebuah parallel event lewat film bertema Islam dan pluralisme karya sutradara Nurman Hakim seperti 3 Doa 3 Cinta, Bidhah Cinta dan Khalifah. Kemudian Nukman Hakim beserta pengamat film Marselli Sumarno akan mengadakan diskusi dengan para santri.
Sementara progam meditasi yang sudah dimulai tahun Ialu, sebagai sebuah ikon baru BWCF, kali ini mengundang Laura Romano, seorang praktisi meditasi paguyuban kebatinan Sumarah, Romo Sudrijanto SJ dan Yudhi Widdiantoro untuk memimpin sesi yoga dan meditasi. Sekaligus memberikan Awards Penelitian Sejarah Nusantara kepada Dr. Tan Ta Sen dari Malaka, yang dengan biaya pribadi membangun Museum Cheng Ho di Malaka, Malaysia.
BWCF pun menggabungkan perayaan dunia literasi dan dunia seni pertunjukan, dengan menghelat Gelaran Seni Kontemporer “Migrasi”, sebuah isu penting dunia saat ini. BWCF mengundang para koreografer dan teaterawan antara lain Ery Mefri, Bimo Wiwohatmo, Melati Suryodarmo dan Katsura Kan, Miroto, Cok Sawitri, Toni Broer & Katia Engel, Jarot B Darsono, Yusril Katili dan Anwari untuk membebaskan menafsirkan hal-hal yang berkenaan dengan “pengembaraan”. Pengembararaan yang bukan hanya berarti sebatas migrasi fisik tapi juga migrasi ruhani. Sebuah pelawatan dalam jiwa. Dan mementaskannya di panggung Aksobhyan Borobudur, ucap Seno Joko Suyono.
Seperti hadirnya Bhumisambhara dalam sutra sutra yang dipahatkan pada dinding Borobudur, BWCF diharapkan tak hanya sebatas memberikan pengetahuan dari berbagai sumber literasi bagaimana pengembara manca melihat Nusantara. Tapi sebaliknya pula, seperti apa Nusantara melihat para pengembara manca sejak dahulu hingga kini. Para pengembara yang tak hanya memperkaya khazanah peradaban nusantara namun juga bagaimana nusantara mempengaruhi dunia.
Kebudayaan adalah identity kita, jati diri kita sebagai bangsa, tutup Prof. Dr. Toety Herati, selaku Penasehat dari Borobudur Writers and Cultural Festival 2018. Sekaligus mengingatkannya pada Gandawyuha Project sebagai Saksi Pluralisasi dan Pencarian Religiusitas di Nusantara, untuk terus dilanjutkan.
(Tjo; foto nia