SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) kembali menggelar acara Silaturahmi Kebangsaan dengan Keluarga Besar Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Acara ini merupakan bagian dari agenda rutin yang diselenggarakan oleh Pimpinan MPR RI periode 2019-2024, bertujuan untuk menjalin komunikasi serta memperkuat persatuan dan kerukunan bangsa.
Dalam acara tersebut, Pimpinan MPR RI menyerahkan surat jawaban resmi dengan Nomor: B-1372I/HK.0O.0O/BVII/MPR/09/2024, yang merupakan tindak lanjut dari surat Fraksi Partai Golkar MPR RI terkait Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Surat ini menegaskan sejumlah poin penting mengenai status hukum dan tindak lanjut terhadap Mantan Presiden Soeharto, serta penghargaan atas jasa-jasanya.
1. Komitmen MPR untuk Rekonsiliasi Nasional
MPR RI menegaskan bahwa sebagai lembaga yang mewakili seluruh rakyat Indonesia dan sebagai “Rumah Besar Kebangsaan,” pihaknya terus berupaya menciptakan rekonsiliasi nasional dan kerukunan di antara berbagai elemen bangsa. Upaya ini tetap dilaksanakan dalam koridor etika dan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Keberlakuan TAP MPR XI/MPR/1998
Pimpinan MPR RI menekankan bahwa TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN tetap berlaku. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR, yang menyatakan bahwa TAP XI/MPR/1998 berlaku hingga terbentuknya Undang-Undang yang lebih spesifik.
3. Pelaksanaan TAP XI/MPR/1998
MPR menyoroti bahwa pelaksanaan TAP XI/MPR/1998 didukung oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 34 UU ini, dinyatakan bahwa apabila terdakwa meninggal dunia selama proses sidang, gugatan dapat dilanjutkan secara perdata terhadap ahli waris.
4. Penghentian Penuntutan Soeharto
Secara hukum pidana, kasus terhadap Soeharto dihentikan oleh Kejaksaan Agung pada 11 Mei 2006 melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Penghentian ini disebabkan oleh kondisi kesehatan permanen yang dialami Soeharto, yang membuat persidangan tidak dapat dilanjutkan.
5. Gugatan Perdata Yayasan Soeharto
Meskipun proses pidana terhadap Soeharto telah dihentikan, pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar, salah satu yayasan yang didirikan Soeharto, secara perdata. Putusan Mahkamah Agung pada 2015 menyatakan Yayasan Supersemar terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan diharuskan membayar kerugian negara. Hingga saat ini, pembayaran tersebut baru sebagian diselesaikan.
6. Penyelesaian Hukum Terhadap Soeharto
Proses hukum terhadap Soeharto secara pribadi telah selesai dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerbitkan SKPP pada tahun 2006. Proses hukum tersebut diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung pada tahun 2015 yang menyatakan bahwa Soeharto tidak dapat lagi diadili karena kondisi kesehatan yang parah.
7. Kewenangan Menuntut Dihapus
Setelah Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008, sesuai dengan ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kewenangan untuk menuntut secara pidana dinyatakan gugur, sehingga tidak ada lagi tuntutan hukum terhadapnya.
8. Penegasan Terhadap Pasal 4 TAP XI/MPR/1998
MPR menegaskan bahwa materi Pasal 4 TAP XI/MPR/1998, yang menyebut nama Soeharto dalam konteks KKN, telah dilaksanakan dengan penghentian penuntutan hukum terhadap dirinya. Namun, TAP tersebut tetap berlaku untuk kasus-kasus KKN lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan Soeharto.
9. Pengkajian TAP MPR Lainnya
Dalam Rapat Gabungan yang digelar pada 23 September 2024, Pimpinan MPR setuju untuk menugaskan Badan Pengkajian MPR melakukan kajian lebih lanjut terhadap status hukum TAP XI/MPR/1998, serta ketetapan lainnya yang masih berlaku, sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003.
10. Penghargaan Jasa Soeharto
Dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa, MPR mendorong agar jasa-jasa dan pengabdian Soeharto selama tiga dekade sebagai Presiden Indonesia diberikan penghargaan yang layak. Hal ini akan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulan
Acara Silaturahmi Kebangsaan ini kembali mempertegas komitmen MPR RI untuk terus menjaga persatuan bangsa, sekaligus memberikan penghormatan yang pantas atas pengabdian Soeharto. Selain itu, MPR juga memastikan bahwa upaya pemberantasan KKN di Indonesia tetap menjadi prioritas, dengan pelaksanaan hukum yang adil dan transparan.
(Anton)