SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Anggota Komisi VII DPR RI, Samuel Wattimena, menyoroti belum optimalnya realisasi program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) akibat minimnya anggaran serta belum kuatnya struktur dan otoritas kelembagaan ekonomi kreatif di daerah. Hal ini disampaikan dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Menteri Ekonomi Kreatif yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Menurut Samuel, meski konsep kerja Kemenparekraf secara tertulis sudah sangat baik, keterbatasan anggaran membuat realisasi di lapangan jauh dari harapan. Ia mengaku pesimistis target-target ambisius yang dirancang kementerian tersebut bisa tercapai tanpa dukungan anggaran yang memadai.
“Kalau di atas kertas, kemajuan dan konsep-konsep kerjanya sudah sangat baik. Tapi kalau kita bandingkan dengan anggaran yang mereka miliki, kita tidak terlalu optimis bahwa yang tertulis bisa tercapai,” ujar legislator dari daerah pemilihan Jawa Tengah I itu.
Samuel juga menyoroti masih minimnya kehadiran struktur kelembagaan ekonomi kreatif di tingkat daerah. Ia mencatat bahwa hingga kini baru delapan daerah yang memiliki kepala dinas ekonomi kreatif secara definitif. Hal ini, menurutnya, menjadi hambatan serius dalam mendorong pemerataan pengembangan sektor ini di seluruh Indonesia.
“Ekonomi kreatif ini belum punya anggaran yang cukup untuk bisa bergerak ke daerah. Jadi otoritas itu memang belum bisa mereka lakukan,” tegasnya.
Selain itu, ia mengkritisi kurangnya sosialisasi program-program Kemenparekraf kepada anggota Komisi VII DPR, yang berdampak pada lemahnya dukungan dari para wakil rakyat untuk pengembangan ekonomi kreatif di daerah pemilihannya masing-masing.
“Padahal kalau sosialisasi dilakukan secara masif, kita bisa menjadi ujung tombak di setiap daerah untuk mensosialisasikan konsep kerja mereka,” tambah politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Samuel juga menilai bahwa pendekatan program Kemenparekraf masih terlalu terpusat di kota-kota besar. Ia menilai masyarakat desa, termasuk anak-anak muda di daerah, belum banyak merasakan dampak langsung dari program-program yang dijalankan.
“Kami yang di desa-desa belum terlalu merasakan. Karena program-program ini belum berjalan secara komprehensif,” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya akses informasi yang jelas dan merata sebagai kunci membangkitkan potensi ekonomi kreatif di daerah. Menurutnya, anak-anak muda memiliki potensi besar untuk terlibat dalam sektor ini jika diberi arahan yang tepat.
“Informasi itu sekarang paling primadona dan paling seksi. Kalau kita beri informasi yang tepat dan lengkap dari hulu ke hilir, anak-anak muda ini bisa menemukan solusi dan jalan keluar yang tak terduga,” katanya.
Samuel juga mengingatkan pemerintah untuk tidak hanya berorientasi pada hasil-hasil fisik, tetapi mulai memberi ruang lebih besar pada kekuatan utama ekonomi kreatif yaitu ide, kreativitas, dan hak cipta.
“Ekonomi kreatif ini kekuatannya pada intangible—pemikiran, visi, kreativitas. Jangan dari depan yang dilihat hanya bentuk fisiknya. Intangible-nya itu yang punya nilai besar,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa sektor ekonomi kreatif memiliki potensi besar menjadi solusi konkret atas berbagai persoalan sosial dan ketenagakerjaan, terutama dalam merespons gelombang pemutusan hubungan kerja.
“Kalau kita hanya menuntut hasil fisik, para pemula akan terus didesak untuk menghasilkan produk nyata. Padahal gagasan dan ide juga punya nilai tinggi lewat hak cipta. Itu yang harus jadi fokus bersama,” pungkasnya.
(Anton)