SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Minat siswa Indonesia terhadap sains terus mengalami penurunan, memicu kekhawatiran di kalangan akademisi dan pejabat pendidikan tentang masa depan riset dan teknologi nasional yang masih bergantung pada impor.
“Banyak siswa kita yang mulai menjauh dari pelajaran sains karena menganggapnya sulit dan tidak menarik. Ini sinyal bahaya bagi negara yang ingin membangun kemandirian teknologi,” ujar Muhammad Wafid, dosen geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (24/2/2025).
Fenomena ini terlihat dari berbagai survei pendidikan di sekolah menengah di sejumlah daerah. Penelitian di Gianyar, Bali, menunjukkan hanya 55 persen siswa memiliki minat sedang terhadap pelajaran IPA, sementara studi di Nusa Tenggara Barat menemukan hanya 30 persen siswa yang benar-benar antusias mempelajari sains.
Dosen FMIPA UGM, Sri Wahyuni, mengatakan salah satu penyebab utama penurunan minat ini adalah metode pengajaran yang masih berpusat pada hafalan rumus dan ujian tertulis. “Anak-anak tidak diajak bereksperimen atau melihat penerapan sains dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, mereka kehilangan rasa ingin tahu,” katanya.
📉 Tertinggal dari Negara Tetangga
Data Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa kemampuan dan minat siswa Indonesia terhadap sains tertinggal dibandingkan sejumlah negara Asia lainnya.
Dalam laporan PISA 2022, siswa Singapura menempati peringkat pertama dunia dalam literasi sains, disusul Jepang, Korea Selatan, dan China (Shanghai). Sementara Indonesia berada di peringkat ke-71 dari 81 negara.
“Negara-negara Asia Timur menunjukkan bahwa minat terhadap sains bisa dibangun sejak dini, melalui eksperimen, kompetisi, dan pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran,” kata Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi.
Stella mencontohkan bagaimana Singapura dan Korea Selatan secara konsisten memasukkan sains terapan dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti STEM clubs dan robotic competitions.
“Di sana, sains diposisikan sebagai sesuatu yang keren dan relevan — bukan pelajaran yang menakutkan,” ujarnya.
Sebaliknya, di Indonesia, banyak siswa masih memandang sains sebagai pelajaran yang hanya berguna untuk ujian nasional atau seleksi masuk universitas, bukan sebagai keterampilan hidup atau karier masa depan.
⚙️ Dampak Ekonomi dan Inovasi
Pakar teknologi memperingatkan bahwa rendahnya minat siswa terhadap sains akan memperlebar kesenjangan inovasi di kawasan Asia Tenggara.
“Kurangnya minat pada sains berbanding lurus dengan minimnya tenaga ahli di bidang riset dan teknologi,” ujar Andri Satryo, peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BRIN). “Kalau tren ini terus berlanjut, kita akan terus menjadi konsumen teknologi, bukan penciptanya.”
Menurut data Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, hanya sekitar 22 persen mahasiswa baru di Indonesia yang memilih jurusan sains dan teknologi — jauh di bawah Malaysia (35%) dan Vietnam (40%).
Mencari Jalan Keluar
Pemerintah kini tengah menyiapkan program revitalisasi pembelajaran sains berbasis project-based learning dan STEM Education di sekolah-sekolah negeri. Tujuannya untuk menghubungkan pelajaran sains dengan dunia nyata melalui eksperimen, proyek teknologi sederhana, dan riset mini.
“Minat belajar sains bisa tumbuh kalau siswa merasa sains itu dekat dengan kehidupan mereka — misalnya lewat topik energi terbarukan, kendaraan listrik, atau perubahan iklim,” ujar Stella Christie.
Sejumlah sekolah percontohan di Yogyakarta dan Bandung telah melaporkan peningkatan partisipasi siswa hingga 80 persen setelah menerapkan metode eksperimen dan kolaborasi dalam pembelajaran sains.
“Investasi dalam pendidikan sains bukan hanya soal kurikulum, tapi soal masa depan bangsa,” tambahnya. “Negara yang kuat di bidang sains, akan kuat di bidang ekonomi.”
(Anton)




















































