SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, menegaskan pentingnya kebijakan pelayanan satu pintu sebagai solusi komprehensif untuk menekan jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja melalui jalur non-prosedural. Hal ini disampaikan dalam dialog publik bertajuk “Meningkatkan Sinergi Stakeholder dalam Rangka Penguatan Tata Kelola Penempatan dan Pelindungan PMI” di Kantor KemenP2MI, Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Solusi Regulasi Pelayanan Satu Pintu
Karding menyoroti bahwa kebijakan ini akan memastikan setiap warga negara yang ingin bekerja di luar negeri harus melalui prosedur resmi dengan pendataan yang transparan dan akurat. Hal ini berlaku untuk semua jenis pekerjaan, termasuk pekerja magang dan musiman.
“Mari kita buat regulasinya ke depan, bahwa orang yang mau keluar itu atas nama apapun, asal dia dapat upah dan bekerja di luar negeri, harus satu pintu,” ujarnya.
Melalui pendataan tersebut, pemerintah dapat memantau lokasi, jenis pekerjaan, durasi kerja, dan jaminan perlindungan bagi PMI. Karding berharap langkah ini akan memberikan perlindungan maksimal dan menekan angka eksploitasi yang saat ini masih marak terjadi.
Karding menyebut bahwa 80 persen PMI yang menjadi korban eksploitasi merupakan pekerja yang berangkat melalui jalur non-prosedural. PMI non-prosedural ini sering kali sulit dilacak, baik lokasi tempat mereka bekerja maupun kondisi kerjanya. Akibatnya, jika terjadi masalah seperti eksploitasi atau penyiksaan, pemerintah kesulitan memberikan bantuan yang efektif.
“Kalau dia masuk, maka kita bisa memantau dia pekerjaannya apa, bekerja di mana, siapa yang mengirim, lalu jabatan pekerjaannya apa, terlindungi atau tidak di sana,” jelas Karding.
Faktor Penyebab Tingginya PMI Non-Prosedural
Berdasarkan evaluasi menyeluruh selama dua bulan menjabat, Karding mengidentifikasi sejumlah faktor yang mendorong masyarakat memilih jalur non-prosedural:
1. Kebutuhan Ekonomi Mendesak
Mayoritas PMI non-prosedural berasal dari latar belakang ekonomi sulit. Mereka sering kali memiliki hutang, tuntutan biaya hidup, atau tanggungan keluarga yang besar.
“Rata-rata alasan teman-teman bekerja di luar negeri itu karena kebutuhan mendesak. Lapangan pekerjaan di Indonesia tidak tersedia, dia tidak punya uang, dan harus menghidupi banyak orang,” ungkap Karding.
- Perekrutan oleh Calo
Calo masih menjadi faktor signifikan dalam mendorong tingginya PMI non-prosedural. Para calo rutin melakukan perekrutan di desa-desa yang dikenal sebagai lumbung PMI, dengan iming-iming gaji tinggi. Saat ini, calo juga semakin aktif merekrut melalui media sosial.“Kenapa tidak memilih jalur prosedural? Karena ada pola yang berlangsung lama. Mereka direkrut langsung oleh calo ke desa-desa atau lewat medsos,” kata Karding.
- Pelayanan Pemerintah yang Berbelit
Selain itu, Karding mengakui bahwa buruknya pelayanan pemerintah menjadi alasan lain mengapa calon PMI memilih jalur non-prosedural.“Jangan-jangan mereka ini ambil non-prosedural karena pelayanan kita tidak bagus, berbelit-belit,” ujarnya.
Masalah Penempatan PMI dan Kebijakan Arab Saudi
Dalam kesempatan yang sama, Karding turut menyinggung penempatan PMI di Arab Saudi yang hingga kini masih menjadi tantangan. Ia meminta agar Arab Saudi memberikan jaminan peningkatan gaji dan perlindungan menyeluruh sebelum membuka kembali izin pengiriman PMI.
“Arab Saudi itu selama ini selalu minta gajinya rendah. Dari 2015 itu mintanya 300 dolar AS, kira-kira Rp5 juta. Yang kedua, sistem perlindungannya di sana masih kurang,” tegasnya.
Karding menegaskan bahwa PMI harus ditempatkan melalui perusahaan penyalur resmi, bukan langsung ke calon majikan. Langkah ini memungkinkan pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban kepada perusahaan penyalur jika terjadi pelanggaran hak atau masalah serius.
“Arab Saudi kalau mau, dia harus bekerjasama menguatkan dua hal ini: sistem gaji dan perlindungan,” ucapnya.
Ia juga meminta masukan tertulis dari organisasi pegiat PMI mengenai dampak sosial dan manfaat pembukaan kembali penempatan PMI di Arab Saudi.
“Mudharat sama manfaatnya itu harus lebih besar manfaatnya,” kata Karding.
Data Penempatan PMI
Sejak tahun 2007 hingga November 2024, Kementerian P2MI mencatat ada 5.181.482 PMI yang ditempatkan di berbagai negara. Negara dengan jumlah penempatan PMI terbanyak antara lain:
1. Malaysia: 1.409.961 orang
2. Taiwan: 1.048.406 orang
3. Hong Kong: 1.032.669 orang
4. Arab Saudi: 462.740 orang
Sisanya tersebar di negara lain seperti Singapura, Korea Selatan, dan Oman.
Langkah Penguatan Tata Kelola dan Sumber Daya Manusia
Karding menyampaikan bahwa penguatan sistem vokasi dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) menjadi langkah penting lainnya untuk mendukung tata kelola penempatan PMI.
Ia mengakui bahwa dari kebutuhan pekerja migran yang mencapai 1 juta orang, Indonesia hanya mampu memenuhi 267 ribu orang. Hal ini disebabkan oleh ekosistem perekrutan, pelatihan, pengiriman, dan penempatan yang belum berjalan secara sistematis.
“Kalau itu terproyeksi dengan baik, kita siapkan lembaga pelatihannya, mode perekrutan, pelayanan, serta perwakilan kita di luar negeri agar tidak semua bebannya di Kementerian Luar Negeri,” tuturnya.
Dalam diskusi tersebut, Karding juga menyinggung tingginya eksploitasi PMI non-prosedural, khususnya di Kamboja. Banyak PMI ilegal yang diberangkatkan ke Kamboja mengalami penyiksaan di perusahaan scammer dan judi online.
Karding menegaskan bahwa pemerintah Indonesia belum membuka kerjasama apapun terkait penempatan pekerja migran di Kamboja.
Dengan kebijakan-kebijakan ini, Karding berharap dapat menciptakan sistem penempatan pekerja migran yang transparan, aman, dan berkelanjutan, serta menekan angka pekerja non-prosedural di masa mendatang.
(Anton)