SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) termasuk dalam objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa PPN diterapkan atas Merchant Discount Rate (MDR), yaitu biaya jasa yang dikenakan kepada pedagang oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) saat konsumen menggunakan QRIS.
“Penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru. PPN dikenakan atas MDR yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant,” jelas Dwi, Sabtu (21/12/2024).
Mekanisme Pengenaan PPN pada QRIS
MDR QRIS adalah tarif jasa yang dibebankan kepada pedagang, dan tarifnya berbeda-beda tergantung kategori merchant. Berdasarkan Bank Indonesia (BI), berikut adalah rincian tarif MDR QRIS:
- Usaha Mikro (UMI): 0,3% untuk transaksi di atas Rp 100.000, 0% untuk transaksi di bawah Rp 100.000.
- Usaha Kecil (UKE), Menengah (UME), dan Besar (UBE): 0,7%.
- Layanan Pendidikan: 0,6%.
- SPBU, BLU, dan PSO: 0,4%.
- Government to People (G2P) seperti bansos dan People to Government (P2G) seperti donasi sosial dan pajak: 0%.
Biaya MDR ini tidak boleh dibebankan kepada konsumen oleh pedagang.
Dwi memberikan simulasi sederhana untuk menjelaskan bagaimana PPN diterapkan dalam transaksi menggunakan QRIS. Contohnya, jika Pablo membeli TV seharga Rp 5.000.000, ia akan dikenakan PPN sebesar Rp 550.000, sehingga total yang harus dibayarkan adalah Rp 5.550.000.
“Jumlah pembayaran konsumen tidak berbeda, baik saat menggunakan QRIS maupun metode pembayaran lainnya,” tambahnya.
Dampak pada Pedagang dan Konsumen
Meskipun MDR adalah biaya yang dikenakan kepada pedagang, konsumen tidak akan melihat perbedaan harga yang harus dibayarkan karena biaya tersebut tidak boleh diteruskan kepada konsumen. Namun, pedagang tetap perlu mengelola biaya operasionalnya dengan mempertimbangkan tarif MDR tersebut.
Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Kepatuhan Pajak
DJP menegaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak, tetapi juga mendukung ekosistem teknologi finansial di Indonesia. Dengan penerapan pajak yang terstruktur, pemerintah berharap dapat memperkuat transparansi dan akuntabilitas sektor pembayaran digital.
Langkah ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan sekaligus mengoptimalkan penerimaan pajak tanpa memberatkan pelaku usaha dan konsumen.
(Anton)