SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Pemerintah segera mengajukan 2 (dua) Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan. Kedua RUU tersebut disiapkan guna memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global, ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Kamis (12/12) usai memimpin Rapat Koordinasi tentang Omnibus Law di kantornya.
Airlangga menambahkan bahwa substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mencakup 11 klaster, yakni Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M; Kemudahan Berusaha; Dukungan Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengadaan Lahan; Investasi dan Proyek Pemerintah; dan Kawasan Ekonomi.
“Kami telah membahas substansi 11 klaster tersebut secara intensif dengan 31 Kementerian/Lembaga (K/L) terkait,” sambungnya lagi.
Dalam pembahasan bahwa hingga saat ini telah teridentifikasi sebanyak 82 UU dan 1.194 pasal yang akan diselaraskan melalui Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dan satu UU bisa masuk dalam beberapa klaster. Artinya, apabila satu UU terkait dengan tiga klaster, maka dihitung sebagai satu UU.
Sementara, Omnibus Law Perpajakan disiapkan Kementerian Keuangan mencakup 6 pilar, yaitu Pendanaan Investasi; Sistem Teritori; Subjek Pajak Orang Pribadi; Kepatuhan Wajib Pajak; Keadilan Iklim Berusaha; dan Fasilitas.
Substansi kedua Omnibus Law tersebut terkait dengan aspek Perpajakan dan Kebijakan Fiskal, yang menyangkut substansi di Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dimasukkan ke dalam Omnibus Law Perpajakan, papar Airlangga Hartarto.
Menko Airlangga segera menyampaikan laporan hasil pembahasan Omnibus Law kepada Presiden RI, termasuk penyelesaian Naskah Akademik dan draft RUU Omnibus Law, untuk kemudian diserahkan ke DPR RI atau paralel dengan pembahasan bersama DPR RI. Sehingga akan dimulai untuk menyiapkan regulasi turunannya.
Seperti diketahui, Menteri Hukum dan HAM bersama dengan Badan Legislasi DPR RI pada 5 Desember 2019 telah menetapkan kedua RUU Omnibus Law ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Super Prioritas Tahun 2020.
Disisi lain, pemerintah mengapresiasi keterlibatan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia dalam proses penyusunan dan konsultasi publik Omnibus Law melalui Satuan Tugas Bersama (Task Force) yang dipimpin Ketua Umum KADIN, dengan anggota berasal dari unsur K/L, Pemda, Akademisi, serta dari KADIN sendiri. Dengan demikisn, dalam pembahasan Omnibus Law mendapatkan masukan dan usulan agar substansi Omnibus Law selaras dengan kebutuhan pelaku usaha.
Airlangga pun kembali menegaskan bahwa hambatan utama dalam peningkatan investasi dan daya saing adalah terlalu banyaknya regulasi, baik pada tingkat pusat dan daerah (hiper regulasi) yang mengatur sektor atau bidang usaha. Regulasi tersebut menyebabkan terjadinya disharmoni dan tumpang tindih di tataran operasional di berbagai sektor.
Maka itu diperlukan penerapan metode Omnibus Law, yakni pembentukan 1 (satu) UU yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai UU lainnya. Dengan demikian, berbagai hambatan dapat diselesaikan dalam satu UU, papar Menko Perekonomian.
Sedangkan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono menambahkan, setidaknya ada 3 (tiga) manfaat dari penerapan Omnibus Law. Pertama, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan. Kedua, efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan. Ketiga, menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dan banyak negara yang telah menerapkan Omnibus Law, antara lain Amerika Serikat, Australia, dan Vietnam.
Bagi Indonesia produk Omnibus Law yang pernah dibuat yakni UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan, yang menghapus dan menyatakan tidak berlaku terhadap ketentuan kerahasian perbankan, asuransi, dan pasar modal terkait akses perpajakan yang sebelumnya diatur dalam UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Asuransi, dan UU Perdagangan Berjangka Komoditi.
(Hmsekon/hes/gha; foto dok