SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Haris Azhar dari Lokataru, Law and Human Rights Office mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tindakan hukum yang tegas, pemanggilan paksa, dalam penanganan kasus dugaan Tindak Pidana Suap dan/atau Gratifikasi yang dilakukan oleh Nurhadi mantan Sekertaris Mahkamah Agung (MA) bersama menantunya Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Heindra Soenjoto (18/1).
“Untuk itu, Kami mendesak KPK untuk segera melakukan upaya hukum berupa penangkapan kepada para tersangka dan mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku demi terciptanya kepastian hukum,” tegas Haris Azhar.
Sebelumnya Nurhadi (CS) ditetapkan menjadi tersangka 16 Desember 2019 lalu. Penetapan tersebut didasarkan pada penyelidikan KPK yang telah berlangsung sejak tahun 2016 dari hasil pengembangan kasus penangkapan Penitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, berkaitan dengan kasus suap yang melibatkan Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro.
KPK pun telah memanggil Nurhadi (CS) tiga kali untuk dimintai keterangan, namun pemanggilan tersebut tidak dipenuhi tanpa keterangan. Nurhadi diduga menerima suap dan/atau gratifikasi dari HS melalui menantunya, Rezky Herbiyono sebesar 33,1 miliar rupiah, dalam rangka pemenangan perkara kepemilikan saham PT MIT.
Selain itu, Nurhadi pun diduga menerima janji berupa 9 (sembilan) cek dari HS terkait pemenangan Perkara PK di MA. Nurhadi selanjutnya patut diduga telah menerima gratifikasi sebesar 12,9 miliar rupiah selama kurun waktu Oktober 2014 hingga Agustus 2016 dalam rangka pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA.
Tindakan Nurhadi dan Rezky Herbiyono yang diduga kuat menerima suap dan gratifikasi dengan total 46 miliar rupiah terkait pengurusan perkara di MA tahun 2011 hingga 2016. Merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sampai saat ini, ketiga tersangka di atas, masih lenggang bebas tanpa ada ketegasan KPK untuk melakukan Pemanggilan Paksa, paska ditetapkan sebagai tersangka.
Seperti diketahui juga sebelumnya, bahwa mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi tidak terima dijadikan sebagai tersangka kasus korupsi Rp 46 miliar oleh KPK. Bahkan Nurhadi menunjuk pengacara Maqdir Ismail untuk menggugat KPK lewat jalur praperadilan agar status tersangkanya gugur.
Menurut Maqdir, kliennya sangat kaget dengan status tersangka itu. Sebab, selama ini diperiksa untuk kasus suap Panitera PN Jakpus Edy Nasution. Namun malah jadi tersangka di kasus baru.
KPK menetapkan Nurhadi sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi. Total uang yang diduga diterima Nurhadi sekitar Rp 46 miliar dari PT MIT. Ia menjadi tersangka bersama mantunya, Rezky Herbiyono. Versi KPK, uang itu adalah uang yang diberikan PT Multicon Indrajaya Terminal agar Rezky mengurus perkara di MA lewat Nurhadi. Dan salah satu sangkaan KPK juga bahwa Nurhadi menerima gratifikasi sejumlah uang terkait pengurusan perwalian.
Sebagaimana diketahui, KPK menetapkan Nurhadi sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi. Nurhadi diduga menerima suap berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di MA. Selain urusan suap, Nurhadi disangkakan KPK menerima gratifikasi berkaitan dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK (peninjauan kembali) di MA. Penerimaan gratifikasi itu tidak dilaporkan KPK dalam jangka 30 hari kerja.
“Setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang di penyidikan dan persidangan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dalam perkara suap terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar tahun 2015-2016 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya yang tidak dilaporkan dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja ke KPK,” ujar Saut Situmorang yang saat itu masih aktif sebagai Wakil Ketua KPK di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan (16/12 – 2019).
Oleh karenanya, jelas Haris Azhar, terlepas dari adanya permohonan Pra-Peradilan yang diajukan oleh Tersangka Nurhadi, Rezky Herbiyono, dan Heindra Soenjoto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tidak ada kewajiban KPK untuk diam. Sebaliknya, KPK harus meneruskan tindakan hukum paska 3 kali pemanggilan.
“Kami menduga, kepemimpinan baru KPK yang lemah, kerumitan sistem mengambil keputusan karena UU KPK Baru menjadi celah yang akan digunakan Tersangka untuk kabur dari jerat hukum. Plus, kami mempertanyakan bagian penindakan KPK yang terkesan sengaja tidak bekerja dan bermain mata dengan tersangka. Lebih jauh, kami khawatir, hal ini adalah permainan dari tangan-tangan untouchable dan tidak terlihat, dimana KPK sengaja tidak bertindak dan Nurhadi (CS) bebas lewat keputusan Pra Peradilan,” jelas Haris Azhar seraya menutup penjelasannya.
(tjo ; foto ist