SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) perlahan mulai tampil dengan wajah baru—lebih humanis, lebih sigap, dan, menurut sebagian orang, lebih membumi. Semua ini sejalan dengan visi “Presisi” yang digaungkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Perubahan ini menjadi bahan diskusi dalam forum Dialektika Demokrasi bertema Transformasi Polri Menuju Presisi: Menjadi Harapan Masyarakat, yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Pemberitaan DPR RI, Kamis (3/7) di Kompleks Parlemen, Senayan.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, menegaskan bahwa sejak TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000, Polri bukan lagi sekadar alat negara, tapi harus menjadi institusi sipil yang dekat dengan rakyat. “Polisi sekarang tidak cukup hanya menilang dan pasang garis kuning. Mereka harus bisa jadi mitra rakyat—turun ke sawah kalau perlu,” ujarnya, setengah serius.
Rudianto mencontohkan kiprah Polri dalam program ketahanan pangan nasional, termasuk pendampingan penanaman jagung yang mencapai 2,5 juta ton pada kuartal kedua. Ia juga mengapresiasi keterlibatan Polri dalam menyelesaikan konflik ketenagakerjaan. “Kalau dulu polisi hanya dikenal di pos ronda, sekarang mereka juga bisa hadir di lahan pertanian dan ruang mediasi buruh. Ini bukan hal kecil,” tambahnya.
Tak hanya soal kerja lapangan, Rudianto juga menyampaikan bahwa Polri merupakan mitra paling responsif di Komisi III. “Kita panggil, mereka datang. Kita sampaikan keluhan masyarakat, langsung ditindak. Tapi jangan salah, kalau ada oknum yang nyeleneh, ya harus ditindak juga. Jangan sampai nila setitik merusak seragam se-batalyon.”
Dari sisi dunia pers, wartawan senior Yayat Ruhiyat Cipasang menyumbangkan pandangan kritis sekaligus harapan. Ia menyebut hubungan masyarakat dengan polisi seperti kisah klasik: benci tapi rindu. “Tapi sepertinya yang rindu lebih banyak. Lihat saja waktu HUT ke-79 Bhayangkara di Monas, masyarakat datang berduyun-duyun. Itu bukan karena ingin lihat panggung hiburan saja, tapi karena masih ada cinta,” ujarnya disambut senyum peserta diskusi.
Namun Yayat juga memberi catatan. Ia menyinggung kasus korban KDRT yang lebih memilih menghubungi petugas Damkar ketimbang polisi. “Ini PR besar. Kalau masyarakat lebih percaya tukang semprot api ketimbang penegak hukum, berarti ada sesuatu yang harus diperbaiki.”
Ia pun memuji inovasi Polri seperti robot humanoid, anjing robot, hingga platform digital e-Police. Tapi menurutnya, teknologi harus diimbangi dengan pendekatan yang menyentuh. “Polisi harus lebih sering tampil di pelosok, di daerah 3T. Bukan hanya saat upacara, tapi dalam kerja nyata. Kontennya juga jangan melulu seremonial. Kadang yang sederhana justru bikin publik simpati.”
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa modernisasi Polri bukan soal tampilan, tapi soal pendekatan. Harapan masyarakat sederhana: polisi yang tidak hanya kuat di lapangan, tapi juga hangat di hati. Seragam boleh tetap gagah, tapi jangan sampai lupa senyum dan sapa.
(Anton)