SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Firman Soebagyo, politisi senior Golkar yang juga anggota Komisi IV DPR RI, mengecam keras kasus pagar laut yang dibangun di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Menurutnya, proyek pagar laut tersebut merupakan bentuk penjarahan aset negara yang harus segera diselesaikan.
“Kasus pagar laut ini harus dituntaskan. Harus segera, karena semua sudah terang benderang dan alat buktinya sudah cukup,” tegas Firman dalam diskusi di kompleks Parlemen Senayan pada Kamis (6/2). Ia menyebutkan bahwa pihaknya di Komisi IV DPR sudah melihat langsung lokasi tersebut dan menemukan banyak pelanggaran.
Pagar Laut dan Alih Fungsi Hutan Lindung
Firman mengungkapkan bahwa masalah di PIK 2 tidak hanya berhenti pada pagar laut, tetapi juga mencakup kasus besar lainnya terkait alih fungsi hutan lindung. Sebuah kawasan hutan lindung seluas 1.603 hektar telah diubah menjadi hutan produksi. Firman menyebut hal tersebut sebagai pelanggaran yang serius.
“Ini jelas pelanggaran. Kami dari Komisi IV DPR melihat langsung di lokasi. Ternyata ada pembiaran dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kami akan cecar soal itu,” ujar Firman dengan tegas.
Desakan Agar Pemilik Sertifikat Diumumkan
Selain itu, Firman juga menuntut Menteri Agraria dan Tata Ruang, Nusron Wahid, untuk transparan mengenai pemilik sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang ada di PIK 2. Ia meminta agar nama pemilik sertifikat tersebut dibuka ke publik.
“Buka saja ke publik pemilik sertifikat itu, panggil dan umumkan. Ini kasus besar yang harus dibedah. Jangan sampai ada kesan pemerintah menutup-nutupi penjarahan besar-besaran ini,” kata Firman.
Pemagaran Laut yang Ilegal
Kasus pagar laut di PIK 2 ini bermula dari proyek pagar laut yang dibangun di kawasan pesisir. Pagar yang terbuat dari bilah bambu itu membentang lebih dari 30 kilometer, melintasi 16 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang. Proyek ini telah menyebabkan kekhawatiran karena merusak ekosistem pesisir dan berpotensi merugikan nelayan.
Penyegelan pagar tersebut dilakukan oleh tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Pung Nugroho Saksono atau Ipunk. Ipunk menegaskan bahwa pemagaran laut tersebut adalah ilegal karena melanggar izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
“Pagar ini berada di Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi, yang diatur dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2023,” jelas Ipunk pada Kamis, 9 Januari 2025. Ia juga mengingatkan bahwa pemagaran ini bertentangan dengan prinsip-prinsip internasional yang tercantum dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Potensi Kerugian Ekonomi
Keberadaan pagar laut tersebut dinilai berisiko besar bagi nelayan yang menggantungkan hidup mereka pada lautan di sekitar wilayah itu. Selain itu, pagar tersebut dapat merusak ekosistem pesisir, yang memiliki dampak panjang terhadap lingkungan.
Firman Soebagyo juga memberikan peringatan keras bahwa kasus ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena selain merugikan negara, juga merugikan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam pesisir.
“Kami berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap masalah ini dan segera melakukan tindakan tegas untuk menyelamatkan aset negara serta lingkungan hidup,” tutup Firman.
Menyikapi Aspirasi Publik
Terkait dengan desakan publik yang meminta Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan reshuffle terhadap para menteri yang dianggap tidak becus, Firman menyatakan bahwa hal itu sepenuhnya adalah hak prerogatif Presiden. Namun, ia mengingatkan bahwa Presiden harus mendengarkan aspirasi masyarakat.
“Reshuffle itu kan hak prerogatif presiden. Kami dari Golkar tentu menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Pak Prabowo. Tapi bagaimanapun beliau pasti mendengarkan aspirasi publik,” ujar Firman.
(Anton)