SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Revisi Undang-Undang Nomor : 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, jangan hanya berfokus kekhususan tata pemerintahan sebagai ibukota negara, tetapi juga perlu memiliki Majelis Masyarakat Betawi. Demikian pandangan Anggota DPD DKI Jakarta, Dailami Firdaus, dalam diskusi secara virtual dengan tema “Jakarta jadi apa? Pasca Perpindahan Ibukota Negara,” yang digelar oleh Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, di Jakarta, Selasa (26/4/2022)
Menurutnya, selama ini, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 hanya berfokus kepada sebatas mengatur struktur kekhususan tata pemerintahan sebagai ibu kota negara, tidak mengatur posisi masyarakat inti Jakarta. Bahkan dalam hal kewenangan pemerintah daerah tidak mencerminkan apa yang tertuang dalam Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan bahwa
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 menurutnya juga, tidak mencerminkan amanat Pasal 18 B UUD 1945, bahwa pertama negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Kedua, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
“Bila merujuk kepada pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut jelas Jakarta dalam kekhususannya harus mengakui adanya masyarakat adat yaitu masyarakat Betawi,” tandasnya.
Karena, menurutnya selama ini dalam perjalanannya, Undang-Undang No. 29/2007 hanya dinyatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta. Ketentuan ini seperti yang tertuang pada Pasal 26 ayat 6.
“Saya mengutip apa yang disampaikan oleh Pak Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan dalam peresmian JIS (Jakarta Internasional Stadium), pembangunan Jakarta Internasional Stadium ini makin memperkuat citra Betawi sebagai komponen bangsa yang sejak dulu menjadi tuan rumah yang baik bagi begitu banyak unsur-unsur bangsa yang datang ke kota ini yang tinggal di kota ini, masyarakat Betawi telah menjadi fasilitator, terbentuk kuatnya simpul kebangsaan yang sekarang kita rasakan, kontribusi yang luar biasa dari masyarakat Betawi untuk Indonesia,” ujarnya.
Artinya, menurut Dailami Firdaus, di balik kemegahan JIS, terdapat nilai, sistem sosial budaya, dan keseimbangan modernisasi dengan kedaerahan, saling mengisi ruang dan berjalan beriringan tanpa adanya konflik kepentingan.
“Saya berharap dan tentunya bersama Masyarakat Betawi akan terus berupaya agar dalam revisi UU No 29 Tahun 2007 harus memenuhi aspek sosial budaya masyarakat, yaitu upaya meningkatkan penguatan aspek kearifan lokal yang diiringi dengan menguatnya tuntutan demokratisasi dan peningkatan peranan masyarakat, pemerataan dan keadilan serta perhatian terhadap potensi lokal atau Kebetawian yang berinteraksi dengan keanekaragaman daerah lainnya,” ujarnya.
Selain itu, aspek pemerintahan, penguatan pranata sosial budaya masyarakat Betawi harus terlembagakan dalam sistem pemerintahan yang akan datang di dalam revisi Undang-Undang No. 29 Tahun 2007.
Menurutnya, terdapat dua rujukan yaitu undang-undang pemerintahan daerah yang menempatkan Jakarta tidak memiliki kekhususan, atau merujuk langsung pada UUD 1945 Pasal 18B dengan kekhususan pemerintahan yang bersifat trisula sebagaimana Provinsi Aceh, Papua dan DI Yogyakarta.
Dengan demikian, kekhususan yang paling ideal adalah dalam bentuk pemerintahan dengan Sistem Trisula Pemerintahan. “Jadi dalam pandangan saya kedepannya, Kekhususan Pemerintahan Daerah Khusus Provinsi Jakarta harus mencerminkan penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Majelis Adat Betawi berdasar pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” urai Dailami.
Dikatakannya lebih lanjut, Majelis Adat Betawi, harus menjadi satu kesatuan sebagai perangkat kerja pemerintahan Provinsi Jakarta ke depan yang secara khusus melaksanakan pelestarian dan pengembangan masyarakat inti Jakarta dan budaya Betawi. Hal tersebut tentunya dengan memperhatikan budaya lain sebagai kesatuan utuh kebangsaan.
Posisi pranata Betawi pada revisi UU 29/2007 sama halnya dengan pemerintahan di Aceh atau Papua, yakni pemerintah provinsi hasil revisi kelak akan lebih leluasa melestarikan dan mengembangkan berbagai bentuk pelestarian dan dapat melalui berbagai sektor seperti nilai kebetawian pada kurikulum pendidikan muatan lokal Betawi serta pengembangan pelaku budaya Betawi dan perlindungan akan hak masyarakat Betawi sebagai masyarakat inti Jakarta, sesuai ketentuan yang berlaku. Bahkan posisi trisula dalam hal ini bukan mengambil peran pemerintah daerah akan tetapi lebih pada bentuk konsultasi dan pertimbangan dalam pembangunan masyarakat Betawi.
Hadir dalan diskusi virtual tersebut, Achmad Riza Patria (Gubernur DKI Jakarta), Ahmad Dolli Kurnia Tanjung (Ketua Komisi II DPR RI), Mujiono (Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta), Harry Ara Hutabarat ( Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta), Nadruddin Djoko Surjono (Kepala Bappeda DKI Jakarta), Haminus (Komisioner Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta) dan Siti Zuhro (Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional). (aji)