SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Upaya diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada Singapura untuk mengambil alih ruang udara (Flight Information Region/FIR) di Natuna, Kepulauan Riau (Kepri) berbuah manis.
Pemerintah Indonesia-Singapura usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong mencapai kesepakatan terkait dengan penyesuaian Pelayanan Ruang Udara yang dijadwalkan pada Selasa (24/1/2022).
Presiden Jokowi mengumumkan resmi mengambil alih ruang kendali udara (FIR) di Natuna tersebut. Dengan demikian, ruang lingkup FIR Jakarta akan meliputi seluruh teritorial Indonesia.
“Selama penandatanganan FIR (ruang kendali udara) maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh teritorial Indonesia terutama Natuna dan Riau,” ujar Jokowi dalam konferensi pers daring di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (25/1/2022).
Mulanya FIR di Kepulauan Riau dan Bintan dikuasai Singapura, sehingga jika ingin melintasi wilayah udara tersebut harus melalui izin negara-kota itu. Setelah diambil alih Indonesia, FIR sepenuhnya dikelola Jakarta.
Selain FIR, Jokowi juga menyambut baik perjanjian ekstradisi dan sejumlah kerjasama kedua negara di bidang Politik Hukum dan Keamanan.
Upaya negosiasi Indonesia dengan Singapura mengambil alih FIR sudah dilakukan sejak 1990-an hingga akhirnya bisa terwujud saat ini.
FIR Kepulauan Riau diketahui berada di bawah kendali Singapura pada Maret 1946. Negara-kota itu menguasai sekitar 100 mil atau sekitar 160 kilometer laut wilayah udara Indonesia.
Keputusan itu diambil melalui International Civil Organization, karena Jakarta saat itu belum memiliki kompetensi dari berbagai aspek di usianya yang baru menginjak satu tahun merdeka.
Salah satu implementasi penguasaan FIR oleh Singapura adalah saat penerbang TNI AU harus mengantongi izin dari menara kendali penerbangan Bandara Internasional Changi untuk bisa lepas-landas atau mendarat hingga menentukan rute, bahkan ketinggian dan kecepatan.
Ruang udara di Batam dan Natuna adalah bagian dari FIR Blok A. Selain itu, terdapat pula Blok B dan C yang berada di atas perairan Natuna.
Sektor A mencakup wilayah udara di atas 8 kilometer sepanjang Batam dan Singapura. Sektor B mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun.
Sementara itu, sektor C yang berada di wilayah udara Natuna dibagi menjadi dua, Singapura mengendalikan di atas 24.500 kaki, dan Malaysia di bawah 24.500 kaki.
Kerugian dikuasai Singapura
Sementara itu, mantan KSAU yang juga pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia Chappy Hakim, sudah sejak lama wilayah udara kedaulatan Indonesia tidak berada dalam genggaman komando dan kontrol otoritas negeri sendiri. Kondisi ini terjadi sejak 1946.
Dia menuturkan ruang udara di perairan Kepulauan Riau merupakan posisi perbatasan banyak negara sehingga menjadi rawan dan justru berada dalam kekuasaan otoritas penerbangan asing. Wilayah udara kedaulatan Indonesia di sekitar Selat Malaka yang sangat strategis itu sarat dengan masalah
Contohnya, pesawat asing yang dapat masuk wilayah RI tanpa Flight Clearance, karena diberikan izin melintas oleh otoritas penerbangan setempat, dalam hal ini FIR Singapura.
“Itu sekadar contoh saja dari sekian banyak permasalahan serius berkait dengan pertahanan keamanan negara dalam aspek penerbangan liar dan tanpa izin yang dapat dengan mudah melintas di wilayah udara kedaulatan kita,” terangnya.
Chappy berpendapat, yang paling parah, Singapura telah menetapkan secara sepihak kawasan danger area di wilayah kedaulatan RI yang berarti juga melarang pesawat-pesawat terbang Indonesia melintas di rumahnya sendiri.
Sebenarnya, Presiden Jokowi telah memberikan perintah tentang pengambilalihan FIR Singapura sejak 2015. Kepala Negara telah meminta agar segera mengelola sendiri wilayah udara kedaulatan RI di atas perairan Kepulauan Riau.
Sebelumnya, tercantum dalam UU Penerbangan No. 1/2009 tentang pengambilalihan FIR Singapura. Bahkan sudah ada Peraturan Menteri yang dikeluarkan pada 2016 berisi tahapan pengambilalihan FIR Singapura.
Dia menuturkan ada beberapa kemungkinan penyebab keengganan untuk menyelesaikan pengambilalihan FIR tersebut.
Misalnya, angapan bahwa Singapura adalah investor terbesar di Indonesia yang membantu kondisi keuangan negara.
“Kemungkinan lainnya, bisa saja ada agenda tertentu yang sedang berproses dalam perjalanan proyek-proyek berkaitan dengan kewenangan otoritas penerbangan Singapura di wilayah kedaulatan Indonesia,” ujarnya. (wwa)