SAUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Komisi IX DPR berpendapat terbongkarnya vaksin palsu membongkar borok buruknya sistem pengawasan dan distribusi obat. Terlebih distribusi vaksi palsu sudah beredar selama 13 tahun. Masalah ini harus menjadi evaluasi terhadap regulasi industri farmasi di Indonesia.
Karena itu Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menilai dibentuknya Panitia Kerja (Panja) pengawasan obat dan vaksin bertujuan untuk menelusuri pola distribusi dan titik masalah (peredaran obat) selama ini.
“Pembantukan Panja tidak hanya mengawasi upaya pemerintah mengatasi vaksi palsu, tetapi tidak lebih jauh untuk mengawasi ,” kata DPR Dede Yusuf dalam diskusi “Negara Darurat Obat-Vaksin Palsu” bersama Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo di Jakarta, Kamis (21/7/2017).
Menurut Dede, belajar dari kasus munculnya kasus vaksin palsu, ternyata banyak keluarga korban yang tidak mengetahui ada vaksin produksi pemerintah. Padahal, kata mantan Wagub Jawa Barat, vaksin pemerintah ini tersedia di puskesmas atau faskes bahkan secara gratis. Sementara kebanyakan rumah sakit terutama swasta banyak menawarkan vaksin impor. ”Ini yang tidak dipromosikan di RS swasta. Yang dibilang kosong itu bukan vaksin pemerintah,” ujar politisi Partai Demokrat itu.
Lebih jauh kata Dede, produksi vaksin oleh BUMN Farmasi, PT Indofarma, kata Dede, termasuk yang terbaik di dunia. Alasannya hampir 70 persen produksi vaksinnya diekspor ke seluruh dunia.
Dede menambahkan masyarakat tidak banyak yang bisa membedakan obat generik dengan obat paten. Obat paten sering ditafsirkan sebagai obat manjur. Padahal, obat paten adalah obat yang tidak mendapat subsidi pemerintah, dimana seluruh biaya dibebankan kepada pasien. ”Obat paten itu masih harus membayar copyrights. Padahal, kandungannya sama,” kata Dede.
Sementara Sudaryatmo menambahkan ada persoalan yang dinilai akut terkait farmasi di Indonesia. Jika di luar negeri, saat seseorang berhubungan dengan pasien, mereka akan mendapatkan informasi lengkap dari apoteker. Seorang apoteker akan menjelaskan pilihan obat berdasarkan kemampuan daya beli pasien. ”Kalau di sini, informasi obat tidak pernah bisa dinikmati. Yang ada justru tawaran mau diambil separuh dulu atau seluruhnya,” kata Sudaryatmo.
Selain itu, distribusi obat di Indonesia boleh dibilang longgar. Seharusnya, produsen mampu mendeteksi jumlah produksi, distribusi, termasuk posisi rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lain dalam mendokumentasikan konsumsi obat. Kasus vaksin palsu membuktikan, tanpa adanya basis data produksi, mulai dari industri, faskes, BPOM sampai Kementerian Kesehatan gagal melakukan deteksi.(EKJ/DS)