SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan mengungkapkan hingga saat ini belum ada UU yang secara khusus membahas jabatan hakim, termasuk mengatur kejelasan status hakim apakah sebagai pejabat negara atau aparatur sipil negara (ASN). Selain itu, juga belum ada yang menjelaskan pola pengangkatan dan pemberhentian hakim, jenjang karir, pengawasan hakim, promosi dan mutasi, dan penilaian kinerja, profesionalisme hakim.
“Begitu besar dan pentingnya peran hakim dalam menegakkan hukum di Indonesia, maka profesi hakim haruslah mendapat perhatian dari negara, “ “ ujar Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Trimedya Panjaitan dalam seminar RUU Jabatan Hakim yang digelar Fraksi PPP DPR di Jakarta, Rabu (26/10/2016).
Strategisnya peran hakim, namun sangat disayangkan hingga saat ini belum ada UU yang secara khusus membahas mengenai jabatan hakim yang di dalamnya mengatur mengenai kejelasan status hakim apakah sebagai pejabat negara atau ASN.
“Semuanya belum dijelaskan dalam UU. Padahal hakim merupakan jabatan yang memiliki tanggung jawab menerima, memroses dan memutuskan perkara sampai tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari, “ ujar Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Trimedya Panjaitan dalam seminar RUU Jabatan Hakim yang digelar Fraksi PPP DPR di Jakarta, Rabu (26/10/2016).
Seminar RUU Jabatan Hakim yang digelar Fraksi PPP DPR RI turut hadir sebagai pembicara Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP Ikahi) Agung Sumanantha dan Dirjen Perundang-undangan (PP) Kemkumham, Widada E.
Bila hukumnya tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan tidak ada, kata Trimedya Panjaitan maka hakim harus mencari hukumnya atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk menuju kepastian hukum.
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, pasal-pasal krusial dalam RUU ini terkait definisi hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung (MA), dan hakim pada badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan agama, militer, tata usaha negara, dan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan.
“Mengenai jabatan hakim agung, selama lima tahun, dan dapat menetapkan kembali dalam jabatan yang sama setiap lima tahun berikutnya, setelah melalui evaluasi oleh Komisi Yudisial (KY). Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan diangkat kembali menjadi hakim agung,” katanya.
Selanjutnya kata Trimedya Panjaiatan, hakim dilarang merangkap jabatan sebagai pelaksana putusan pengadilan. Adapun pemberhentian hakim dapat diberhentikan secara hormat maupun tidak dengan hormat. “Pemberhentian tidak hormat adalah karena bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Pemberhentian karena meninggal dunia, atas permintaan maaf sendiri secara tertulis, telah berusia 60 tahun bagi hakim pertama, berusia 63 tahun bagi hakim tinggi, dan berusia 65 tahun bagi hakim agung. “Juga karena sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama tiga bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau tidak cakap dalam menjalankan tugasnya, “ katanya.
RUU Masa Jabatan Hakim itu, lanjut politisi PDIP itu, akan menjadi landasan hukum untuk memperbaiki status dan manajemen para pengadil. “Tujuan RUU ini untuk menjaga independensi, meningkatkan profesionalisme hakim dan mewujudkan kehormatan hakim,” katanya.
Trimedya menyatakan RUU Jabatan Hakim (JH) sebagai usulan Komisi III DPR RI sebagai Prolegnas 2016 dalam Prolegnas 2015-2019. RUU Jabatan Hakim juga sebagai amanat Pasal 25 UUD 1945 bahwa syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan UU.
Trimedya menegaskan materi RUU JH ini sudah cukup mengatur dengan baik dan komprehensif mengenai RUU ini, sehingga akan mampu menjadi landasan hukum untuk memperbaiki status dan manajemen para pengadil (hakim).”Tujuan dari RUU ini untuk menjaga independensi, meningkatkan profesionalisme hakim dan kehormatan hakim dapat terwujud,” kata Trimedya.(Bams)